Minggu, 02 Februari 2014

Yang Menarik dan Yang Tak Menarik dari Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck


Saya baru berkesempatan menyaksikan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck beberapa waktu yang lalu. Agak terlambat memang, sebab sejatinya film ini sudah dirilis sejak akhir Desember silam. Tetapi apa boleh bikin, di Lombok, tempat saya menetap sekarang, bioskop adalah sebuah entitas bisnis yang belum lagi menyempal dari dalam tanah, apalagi sampai bertunas palawija dengan gemah ripah seperti di ibukota. Makanya, di pulau ini, menonton film-film anyar yang tengah mentas di bioskop adalah sesuatu yang musykil untuk dilakukan. Setidaknya sampai dengan saat ini.

Syahdan, setelah menyaksikan 163 menit durasi filmnya yang panjang dan cukup melelahkan, ada beberapa catatan yang bersilang sengkarut di dalam kepala saya ketika memelototi roman segitiga milik Zainuddin (Herjunot Ali), Aziz (Reza Rahadian) dan Hayati (Pevita Pearce), yang kemudian berujung dengan tragedi itu. Catatan-catatan ini, tentu tidak semuanya berisikan hal-hal menarik yang saya temui dari film ini saja. Ada juga beberapa kernyit dan perasaan janggal yang saya rasakan ketika menyaksikan film ini.

Berikut adalah catatan-catatan tersebut.

(1)
Disadari atau tidak, kebanyakan film lokal yang menghiasi layar bioskop tanah air belakangan ini adalah film-film yang kisahnya diangkat dari sebuah buku. Saya tak perlu menyebutkan judulnya satu per satu sebab anda pun, saya yakin, pasti bisa menyebutkan judul-judul yang saya maksud dengan sangat fasih. Mengenai hal ini, suka atau tidak suka, sepertinya gelombang film-film yang diadaptasi dari novel atau buku masih belum akan berhenti sampai di sini saja. Sebab sepanjang pengetahuan saya, dalam tahun ini saja, masih ada sedikitnya lima judul buku lagi yang konon bakal diangkat ke layar lebar. Jumlah ini tentu saja masih amat sangat mungkin akan bertambah.

Hal ini mau tak mau memunculkan pertanyaan klise, apakah sineas-sineas kita sudah kehabisan ide untuk membikin sebuah film dengan jalan cerita yang benar-benar baru dan segar, sehingga mereka lebih memilih untuk mengambil "jalan pintas" dengan mem-visual-kan kisah-kisah "sudah jadi" dari novel-novel yang pernah laris di pasaran? Atau mungkin permasalahan sebenarnya justru berada pada pihak rumah-rumah produksi yang kelampau takut dan tak mau ambil resiko mendanai pembuatan film-film macam tadi karena takut merugi besar?

Saya tidak tahu, pun juga tak berniat untuk menebak-nebak.


(2)
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, jika hanya melihat dari judulnya saja, seharusnya adalah sebuah cerita yang bahkan sudah spoiler sejak dari pikirannya. Ini semakin didukung  dengan bermunculannya poster-poster teaser, serta trailer-nya yang betul-betul mengekspos bagian kapal Van Der Wijck yang tengah karam. Bagi penonton yang tak pernah membaca bukunya, pun juga tak mencari tahu sedikit-sedikit tentang jalan ceritanya, tentu bakal muncul ekspetasi besar bahwa film ini tak akan jauh-jauh berkiblat dari Titanic-nya James Cameron yang termahsyur itu.

Padahal, kenyataannya tidak demikian. Kisah yang coba diangkat oleh Buya Hamka melalui novelnya sebetulnya adalah tentang perlawanan seorang Zainuddinyang tak bergaris keturunan Minang secara murniuntuk mendapatkan restu dari keluarga Hayati yang tergolong keluarga terpandang di tanah Padang Panjang. Apa yang coba disorot oleh Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck sejatinya adalah sulitnya menentang adat istiadat Minang yang konon tak basah oleh hujan tak lekang oleh panas itu. Perihal tenggelamnya kapal, sebetulnya hanyalah sempilan kecil yang dimaksudkan sebagai klimaks dan simbolisme dari tragedi kisah cinta yang memilukan. Bukan sebuah hidangan utama.

Maka menjadi hal yang cukup menyebalkan ketika sepanjang saya menyaksikan film ini tempo hari, jamak ditemui penonton yang mulai gelisah di tempat duduknya masing-masing karena tak kunjung mendapati scene tentang kapal Van Der Wijck, bahkan sampai dengan kuarter ketiga durasi film. Penonton yang seperti ini betul-betul mengganggu enjoyment dalam menyaksikan film. Sebab selain mereka kerap bergeliat secara tak beraturan di kursinya masing-masing, pun menghalangi pandangan saya kala ingin membaca subtitle, mereka juga kerap mengulang-ulang sebuah pertanyaan menjemukan: "Mana nih, 'nggak muncul-muncul kapal Van Der Wijck-nya?" Duh!


(3)
Segala sesuatu di dunia ini sesungguhnya bersifat relatif, maka menjadi inkonsisten adalah sesuatu yang pasti. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck pun demikian adanya. Dalam durasi filmnya yang hampir tiga jam itu, bakal sangat mudah menemukan banyak inkonsistensi yang terpapar dalam visualisasinya. Dari mulai pelafalan logat minang yang kerap goyah (yes you, Pevita), dialek yang terdengar aneh (are you a batak, Junot?), kostum-kostum pemerannya yang kelampau glamor untuk ukuran tahun 1930-an (Hayati memakai sleeveless dress? seriously?), hingga detil-detil kecil pada set yang kerap tak relevan dengan zaman. Semua hal itu berhasil membikin saya berkerut kening beberapa kali ketika menyaksikan film ini.

Toh itu semua ternyata belum seberapa mengganggu. Ketika jalan cerita mulai memasuki bagian krusial tentang karamnya kapal Van Der Wijck, saya malah harus berusaha mati-matian menahan diri untuk tidak menepuk jidat. Sebagai adegan yang sudah ditunggu-tunggu, bahkan sejak penonton berangkat dari rumahnya, bagian ini anehnya justru dikemas dengan sangat mengecewakan. Special effect-nya payah bukan main, jelek bukan buatan. Durasi penanyangannya cuma beberapa menit. Hasil rekonstruksi pada set kapal Van Der Wijck-nya pun, banyak sekali menghadirkan hal-hal janggal.

Padahal konon, tim riset Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck telah jauh-jauh melakukan riset sampai ke pabriknya di Belanda sana hanya demi menghadirkan tata set Kapal Van Der Wijck yang betul-betul mirip aslinya dengan penuh seluruh. Tetapi jika melihat hasil kerja mereka yang mengecewakan itu, haruskah kita kemudian bertanya-tanya, sebetulnya apa saja yang mereka lakukan selama di Belanda sana? Jajan Roti Holland Bakery dan klappertaart, mungkin?


(4)
Sebetulnya masih banyak hal-hal lain yang menarik, pun yang tak menarik, dari film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Seperti, misalnya saja, tentang bagaimana subtilnya tangkapan lensa arahan Yudi Datau selaku Director of Photography dalam merekam lanskap ranah Padang Panjang, lewat beberapa kombinasi shoot-nya yang memakai teknik time lapse dan siluet. Juga tentang bagaimana Randy Nidji yang secara mengejutkan justru berhasil mencuri layar dengan aktingnya yang memikat sebagai Bang Muluk. Atau tentang bagaimana scoring dan soundtrack yang kerap terasa janggal dan menggangu karena diselipkan pada waktu dan tempat yang tidak tepat.

Kesemua hal itu kemudian membikin garis tegas yang pada akhirnya bakal memudahkan kita untuk menyimpulkan apakah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck merupakan film yang menarik, atau sebuah film yang tidak menarik. Tentu dengan persepsi dan subyektifitas masing-masing individu.

Saya sendiri bukannya hendak berapriori atas segala kerja keras yang dilakukan oleh Sunil Soraya dan timnya dalam menghadirkan epos klasik macam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ke dalam layar lebar. Akan tetapi tentu saja, yang menarik tetap harus dibilang menarik dan yang tidak menarik harus juga kita katakan tidak menarik. Saya memberi nilai 6 untuk film ini yang berarti malah menempatkan film ini pada area abu-abu, antara yang menarik dan yang tidak menarik. Barangkali film ini bukannya tak menarik sama sekali, walaupun juga bukan sebuah film yang bisa dikatakan menarik. Barangkali ia hanya sekedar di bawah ekspektasi saya saja, dan barangkali memang memang benar begitu adanya.