Selasa, 22 Oktober 2013

Manusia Setengah Salmon: Kisah Tentang Perpindahan yang Minim Nuansa Baru


Menghasilkan tiga film hanya dalam rentang satu tahun, juga dalam selang periode yang tidak begitu rumpang, Raditya Dika sepertinya sedang menjalani fase produktifnya sebagai seorang penulis naskah. Rasa-rasanya belum lama waktu berlalu sejak dua film terbarunya, Cinta Brontosaurus (2013, Fajar Nugros) dan Cinta Dalam Kardus (2013, Salman Aristo), mentas di layar lebar beberapa waktu silam. Akan tetapi sekarang, Dika sudah muncul lagi dengan mengusung Manusia Setengah Salmon sebagai film teranyarnya, yang mulai naik layar sejak 10 Oktober kemarin.

Garis Besar
Sesuai dengan judulnya, Manusia Setengah Salmon memang mengambil basis cerita dari buku terakhir Dika yang berjudul serupa. Berkisah tentang keluarga Dika yang berencana pindah ke rumah baru karena sudah tak merasa nyaman lagi menempati rumah yang sekarang, film ini mengambil poros cerita dari pencarian Dika dan keluarganya untuk menemukan rumah yang nyaman dan cocok dengan keluarga mereka. Dari sana, cerita kemudian bercabang ke pelbagai macam subplot yang heterogen, namun tetap dengan ideologi yang segendang-sepenarian: sebuah perpindahan.

Tentang Dika yang masih saja kesulitan berpindah hati dari Jessica (Eriska Rein), mantan kekasihnya, walaupun telah menemukan "rumah baru" dalam diri Patricia (Kimberly Ryder). Juga tentang bagaimana Dika susah payah bertahan hidup kala terjadi "perpindahan" supir di belakang kemudi mobilnya. Sampai dengan yang sedikit sentimentil, bagaimana perpindahan pandangan antara Dika dan ayahnya (Bucek Depp), yang kian menua malah kian berbalik.

Pada akhirnya, fragmen-fragmen tentang perpindahan tadi berkulminasi pada satu kesimpulan: suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, manusia memang harus bisa dan terbiasa menghadapi setiap perpindahan yang terjadi dalam hidupnya. Sebab kita semua, termasuk Raditya Dika, adalah makhluk-makhluk yang senantiasa berenang dalam arus aliran perpindahan yang dinamis. Seperti ikan-ikan salmon yang hidup di perairan Alaska sana.


Perbaikan yang Minimalis
Meskipun bukunya tidak saling berkoneksi secara langsung, dalam versi layar lebarnya, Manusia Setengah Salmon justru dibikin sebagai sekuel dari Cinta Brontosaurus. Jika pada predesesornya Fajar Nugros duduk di kursi sutradara, kali ini tampuk kehormatan untuk men-direct adegan diserahkan ke tangan Herdanius Larobu, pria yang juga berpartisipasi dalam penggarapan Cinta Brontosaurus sebagai desainer grafis.

Secara performa, Manusia Setengah Salmon memang mengalun sedikit lebih baik dibanding prekuelnya. Capluk, sapaan akarab Herdanius, dan juga Raditya Dika selaku script writer, telah melakukan perbaikan-perbaikan yang, katakanlah, berhasil membikin Manusia Setengah Salmon menjadi sedikit lebih kenyal dan pejal untuk dinikmati. Sepanjang 100 menit durasinya, Manusia Setengah Salmon tak cuma menyuguhkan komedi-komedi absurd atau kisah percintaan putus-nyambung tipikal Raditya Dika, tetapi juga menyelipkan lebih banyak fragmen-fragmen di dalam keluarga yang membuat jalinan ceritanya semakin solid dan menarik untuk disimak.

Dari departemen akting, Manusia Setengah Salmon tampak pincang karena ditinggal sosok Kosasih (Soleh Solihun) yang begitu mercusuar di Cinta Brontosaurus. Hadirnya dua komika kawakan sebagai komplementer untuk mengawal barisan komedi, Mo Sidik dan Insan Nur Akbar, ternyata masih kurang mampu menambal ceruk besar yang telah ditinggalkan Kosasih. Beruntung, pemeran-pemeran lawas, termasuk Raditya Dika sendiri (admit it, akting Dika dalam film-filmnya yang sebelumnya kerap terlihat berlebihan dan tidak natural), berhasil meningkatkan kualitas akting mereka sehingga memulas presentasi Manusia Setengah Salmon menjadi lebih empuk untuk dinikmati. Predikat screen stealer layak disematkan kepada Griff Pradapa, yang memerankan tokoh Edgar dengan memikat.


Masih Saja Mengusung Templat Lama
Jika ada hal yang cukup mengganggu dari Manusia Setengah Salmon, tentu saja adalah fakta bahwa film ini masih saja mengusung templat lawas yang dipakai dalam prekuelnya. Jika kita melihat secara makro, akan terlihat betul bagaimana Manusia Setengah Salmon hanyalah sekedar versi 1.2 dari Cinta Brontosaurus. Dari mulai opening scene yang membawa kita flashback ke masa kecil Dika, mantan kekasih yang tiba-tiba muncul lagi hanya untuk memberi kalimat-kalimat bijaksana kepada Dika, juga kembali munculnya scene-scene komedi garing tentang pocong, kuntilanak dan kawan-kawannya, semuanya sudah khattam kita lihat dalam film-film Raditya Dika.

Penggunaan templat ini semakin terasa mengganggu karena formula yang digunakan untuk membungkus ending cerita pun, masih saja sebelas-dua belas dengan Cinta Brontosaurus. Bukankah adegan ketika Dika tergesa-gesa menemui kembali pacar yang telah putus hubungan dengannya, dilanjutkan dengan keluarnya kalimat-kalimat semi gombal dan sedikit quotable bagi penonton kawula muda, yang kemudian ditutup dengan kembali berseminya hubungan cinta mereka adalah adegan yang telah sama-sama kita lihat di penghujung Cinta Brontosaurus?

Pola yang klise ini tentu saja membikin perbaikan-perbaikan yang saya sebut di awal tadi menjadi terasa sepele dan kurang signifikan bagi presentasi filmnya secara keseluruhan. Apa yang dilakukan tim produksi Manusia Setengah Salmon tak ubahnya hanya memoles sedikit jalan setapak yang sudah diretas oleh Cinta Brontosaurus. Sedikit ironis, karena dalam sebuah film yang mengambil tema tentang perpindahan,  dalam proses produksinya sendiri justru tidak ada "perpindahan" yang dilakukan. Atau seandainya katakanlah ada "perpindahan", tentulah cuma "perpindahan" yang tidak jauh-jauh dari tempat semula.



Kesimpulan
Pada akhirnya, jika dibandingkan dengan prekuelnya, Manusia Setengah Salmon memang telah melakukan tambal sulam yang baik di beberapa lubangnya. Herdanius Larobu dan Raditya Dika berhasil menyuguhkan jalan cerita rom-com yang jauh lebih solid. Akan tetapi begitu banyaknya pola-pola adegan yang segendang-sepenarian dengan pendahulunya, mau tak mau membikin film ini menjadi terlihat klise jika ditilik secara makro. Padahal, dengan basis cerita yang kuat dan sedikit filosofis dari bukunya, film ini seharusnya mampu dipresentasikan dengan lebih baik.

Jika Anda belum lagi bosan dengan Raditya Dika dan gaya komedinya, film ini memang masih cukup menghibur untuk ditonton. Tetapi bagi Anda yang sudah merasa jenuh dan sering kecewa dengan hasil akhir film-film Raditya Dika sebelumnya, saya pikir membaca ulang bukunya akan lebih  bermanfaat bagi Anda ketimbang menonton film ini. Saya memberi nilai 5,5 untuk film ini melulu karena begitu banyaknya scene klise yang sepola dengan prekuelnya. Padahal, andai mampu dieksekusi dengan lebih baik, film ini terlihat menjanjikan.

Demikianlah.