Selasa, 08 Mei 2012

The Raid : Dihantam Kekaguman Bertubi-tubi


 Garis Besar 
Cerita bikinan Gareth Evans ini sejatinya tidak istimewa, bahkan boleh dibilang sangat klise dan bercita rasa video game. Dikisahkan bagaimana serombongan pasukan elit ditugaskan (sebenarnya tidak benar-benar "ditugaskan" sih, yang sudah nonton pasti paham) untuk menyerbu apartemen kumuh yang didedengkoti oleh bos penjahat kelas kakap bernama Tama (Ray Sahetapy), beserta dua orang kaki tangannya yang paling setia serta beringas: Andi (Donny Alamsyah) dan Mad Dog (Yayan Ruhian). Tujuan pasukan ini sederhana, seperti kata Sersan Jaka (Joe Taslim), ketika memberikan briefing sebelum melakukan penyerbuan : "... kita masuk, tangkap, dan seret mereka keluar!"

Kenyataannya, tugas mereka tidak sesederhana itu. Tiap lantai di apartemen ini berisi penuh oleh penjahat-penjahat dengan pelbagai macam modus kriminal. Mulai dari pecandu narkoba, preman bertato, penembak jitu, tukang pukul, sampai pembunuh kelas kakap yang tak segan-segan mencocok mata anda dengan pisau belati ataupun mengoyak daging-daging di badan dengan berondongan peluru timah. Mereka adalah penjahat, sejak dalam pikiran.

Dan lantai demi lantai di apartemen ini bak tahapan stage dalam permainan video game yang harus dilalui oleh Jaka dan pasukannya, lengkap dengan rintangannya masing-masing. Dan ketika situasi mendadak berubah menjadi tak menguntungkan bagi mereka, pilihan yang bisa mereka afirmasi cuma dua : membunuh para penjahat itu satu per satu, atau terbunuh secara sadis di tangan mereka.


Opening yang hening
Mengangkat cerita tentang penyerbuan pasukan elit/special forces ke sarang penjahat, film ini mengejutkan saya dengan menampilkan scene pembuka berupa Rama (Iko Uwais), sang protagonis utama, sedang menjalankan ibadah sholat shubuh dan memanjatkan doa dengan khusyuk menjelang keberangkatannya ke medan laga, yang kemudian dilanjutkan dengan adegan pamitan kepada sang istri yang tengah mengandung, serta kepada sang ayahanda. Sebuah pilihan scene pembuka yang hening dan benar-benar di luar prediksi saya. Saya pikir, tadinya, scene pembuka The Raid akan langsung tancap gas dengan baku hantam sejak menit awal. Nyatanya, Gareth Evans sukses membikin saya kecele dengan scene sholat shubuhnya yang memberi titik tolak penuh keheningan sebelum beranjak menuju fase eksplosif dan brutal. Well done, Evans.


Berkelahi sejak dalam pikiran
Adegan fighting memang jadi dagangan utama dari film ini. Kita semua tentu paham, keberadaan kuartet Gareth, Iko, Donny dan Yayan adalah jaminan mutu terciptanya adegan fighting yang berkualitas dan seru. Hal itu sudah terbukti di film mereka yang sebelumnya --Merantau-- yang banyak membikin takjub penontonnya. Dan pada The Raid, mereka kini hadir dengan versi upgraded-nya. Satu level di atas Merantau.

Berbeda dengan Merantau yang tak begitu banyak memuncratkan darah, The Raid adalah film yang bergelimangan darah di mana-mana. Elemen gore dan slasher banyak terasa di film ini. Leher terbacok, pipi yang sobek, bola mata yang dicongkel, hingga darah mancur akibat kulit ditusuk dengan lampu neon adalah adegan-adegan berlumuran darah yang akan jamak tertangkap mata dalam film ini. Hal ini tentu saja amat sangat menggairahkan bagi yang menggemari adegan-adegan semodel itu. Scene yang paling keren tentu saja ketika Iko membanting seorang penjahat sambil menjatuhkan diri hingga kepala si penjahat menancap ke kayu-kayu tajam bekas pintu yang telah jebol. Shit! that was the most hilarious fatality I've ever seen. Effin A!

Dari segi baku hantam, gerakan-gerakan fighting dari Iko, Yayan, Donny, Joe Taslim bahkan hingga pemeran pembantu sekalipun, kelihatan sangat natural hingga mampu membikin penontonnya menahan nafas dan ikut terbawa ketegangan dalam arena laga. Martial arts yang dipakai masih didominasi gerakan-gerakan pencak silat seperti pada Merantau, yang konon memang hendak ditonjolkan dalam film ini, dengan sedikit kombinasi dari muay-thai dan karate. Untuk level sebuah film action, The Raid sukses besar membikin kita merasakan efek pegal-pegal akibat urat syaraf yang dipaksa ikut menegang ketika menyaksikan adegan-adegan perkelahiannya yang super cepat dan seru.

Hal ini masih ditunjang dengan scoring yang klop, pemilihan angle kamera yang kadang nyeleneh, serta pemilihan perabot-perabot yang detil bukan main. Khusus untuk detil, tim The Raid benar-benar bekerja keras sehingga mampu menghadirkan gambaran apartemen kumuh yang "Indonesia banget", bahkan untuk set yang hanya sekelebatan saja.

Coba saja perhatikan keberadaan termos bermotif kembang-kembang, drum sampah warna biru, tempat sendok dari mika berwarna jambon, hingga sekat ruang yang dibuat dari triplek. Kesemua hal itu adalah manifestasi dari "apartemen" masyarakat kelas bawah di negara kita. Dan keberadaanya dalam set-set The Raid, mengindikasikan bagaimana kerja keras tim produksi The Raid untuk menghasilkan film yang berkualitas dan tidak main-main. Untuk yang satu ini, kerja mereka jelas layak untuk diapresiasi. Salut.


Dialog yang kagok
Selain plot cerita yang kurang begitu istimewa, beberapa orang juga memberikan kritik tajam atas script dialog The Raid yang dinilai terlalu baku dan kurang luwes. Kebakuan bahasa ini tentu membikin penonton sedikit mengernyitkan dahi atas pilihan kata-kata yang terkesan disadur langsung dari penerjemah ala google translate. Beberapa aktor juga aktingnya jadi tak begitu maksimal karena keberadaan script yang kurang luwes ini. Ambil contoh saja bagaimana akting Sersan Jaka di awal-awal film yang nampak lebih mirip seperti orang yang sedang berkumur-kumur ketimbang sosok opsir gagah yang sedang memberikan instruksi penyerbuan markas penjahat.

Salah satu dialog yang paling awkward tentu saja ketika seorang penjahat dengan logat ambon berseru ngeri "Kalau saya muak, saya menggila!" pada lawan bicaranya. Entah apa maksud dari Gareth Evans menaruh dialog macam itu, tapi sepanjang pengamatan saya, seisi studio sempat hening beberapa detik ketika menyimak dialog tersebut sebelum akhirnya meledak dalam tawa berjama'ah. Sungguh momen yang membikin geli kalau diingat-ingat lagi.

Dari segi akting non bertarung, The Raid benar-benar ditolong oleh dua aktor senior: Ray Sahetapy dan Pierre Gruno. Kedua aktor ini menunjukkan betul bagaimana pengalaman mereka malang melintang di dunia perfilman selama berpuluh-puluh tahun. Khusus untuk Ray, aktingnya di film ini benar-benar layak diacungi  empat jempol. Kesan sebagai bos mafia yang bengis dan berdarah dingin amat sangat tercitrakan dalam setiap tindak tanduknya. Aktor-aktor lain sebenarnya tak bisa dibilang berakting buruk, hanya saja tetap tak ada yang seistimewa akting Ray Sahetapy.


Kesimpulan
Untuk sebuah film action, The Raid benar-benar memberi dimensi baru bagi perfilman Indonesia. Kualitasnya berada dua sampai tiga level di atas film action lokal biasanya. Poin minus pada skrip dialog dibayar tunai tanpa minta kembalian dengan hadirnya aksi baku hantam kelas satu yang dikombinasikan dengan elemen slasher. Menonton film semodel ini memang sudah seharusnya menitikberatkan pada adegan laganya. Tak perlulah mengilik-ilik urusan dialog yang memang cuma bisa jadi selilit saja. Dan untuk soal adegan gelut, The Raid memang jawaranya. Segala omong besar yang digembor-gemborkan orang-orang tentang film ini sejak akhir tahun lalu memanglah sebuah fakta sahih. The Raid memang sebuah film yang menakjubkan.

Overall film ini saya beri nilai 9, masuk dalam kategori sensasional nan luar biasa. Mengingat film ini adalah karya anak negeri (terbukti dari credit title-nya yang mayoritas dihiasi nama-nama pribumi), meskipun disutradarai oleh orang Wales, The Raid boleh jadi akan dipatok sebagi benchmark bagi dunia perfilman Indonesia. Siapa tahu dengan melejitnya The Raid, kedepannya akan muncul lagi film-film yang kualitasnya setara atau bahkan melebihi The Raid. Siapa tahu?

Demikianlah.