Minggu, 28 Oktober 2012

Perahu Kertas - Bagian 2 : Berlabuh Dengan Perahu Koyak


Garis Besar
"Hai Neptunus, aku ketemu dia lagi. Dan aku tak tahu ini akan berakhir seperti apa?..."
Sama seperti prekuelnya, film ini kembali dibuka dengan monolog dari Kugy (Maudy Ayunda) yang sedang menaiki perahu cadik di tengah lautan, diselingi sedikit flashback dari bagian pertamanya. Bedanya, Perahu Kertas 2 memberi sedikit gimmick dengan munculnya Afika sebagai cameo yang bermain-main di bibir pantai dengan melarung perahu kertas. Bukan sesuatu yang istimewa dan lagipula juga tak berhubungan dengan jalan cerita, maka bolehlah kita sebut kalau kehadiran Afika tersebut cuma sia-sia belaka.

Dari segi jalan cerita, Perahu Kertas 2 langsung memulai pelayarannya dengan melanjutkan bagian yang terhenti di prekuelnya. Adalah pertemuan kembali Kugy dengan Keenan (Adipati Dolken) di acara pernikahan Eko dan Noni (Fauzan Smith - Sylvia Fully) yang membangkitkan lagi perasaan di antara keduanya. Padahal, mereka berdua sudah memiliki pasangan masing-masing, dimana Kugy sudah menjalin cinta dengan Remi (Reza Rahadian), dan Keenan sedang menjalani hubungan jarak jauh dengan Luhde (Elyzia Mulachela). 

Seiring berjalannya waktu, terjadilah pergolakan emosi dan pasang surut romansa di antara keempat tokoh tadi. Pertemuan yang tak disengaja antara Kugy dengan Luhde, serta pejumpaan kembali Keenan dengan Remi semakin membuat romansa mereka terasa pelik. Hingga pada akhirnya, masing-masing dari mereka menyadari, kalau apa yang mereka pilih belum tentu yang paling baik buat mereka. Sebab hati, seperti kata Pak Wayan (Tio Pakusadewo), itu bukan memilih melainkan dipilih. Maka Perahu Kertas 2 pun akhirnya melabuhkan hatinya di pelabuhan yang telah dipilih oleh takdir.


Berlayar dengan (agak) Kacau
Dengan tinggal menyisakan sekitar seperempat novelnya saja, Perahu Kertas 2 seharusnya punya lebih banyak keleuasaan untuk mengeksplor adegan-adegan penting di filmnya. Setidaknya mempertahankan gaya penceritaannya yang tertata dengan cukup baik di bagian pertama. Ironisnya, meskipun memiliki banyak celah dan durasi untuk membikin adegan-adegan yang manis dan touche, Perahu Kertas 2 justru mengalami dekadensi kualitas kalau dibandingkan dengan prekuelnya. Terutama dalam segi alur dan tempo.

Jika di bagian pertama kita bisa menjumpai jalan cerita yang cukup tertata rapi, meski dengan tempo yang juga cepat dan melompat-lompat, di bagian keduanya ini alur cerita justru terkesan kacau, terutama ketika memasuki tengah-tengah durasi. Beberapa adegan terkesan diulur-ulur dan membikin waktu terasa berjalan melambat. Sementara adegan lain yang seharusnya diekspos cukup lama malah dipercepat lajunya sehingga meninggalkan ceruk-ceruk imajinasi di kepala penontonnya. Ambil contoh saat kedatangan Luhde menjenguk Keenan di Jakarta yang cuma ditampilkan dalam sekelebat adegan saat Keenan menjemput Luhde di bandara lalu hanya dalam dua pergantian scene saja, Luhde sudah diantar Keenan pulang ke Bali, tanpa ada adegan yang cukup intim anatara keduanya dalam satu frame di Jakarta. Benar-benar skip.

Alur cerita yang kurang tertata dengan baik ini makin diperparah dengan buruknya proses editing yang terkesan begitu rough. Pergantian dari satu scene ke scene yang lain tidak berjalan mulus. Hal ini membikin Perahu Kertas 2, terutama di tengah-tengah filmnya, seperti berisi tempelan adegan-adegan yang dikumpulkan secara serabutan saja. Mengecewakan.


Touche yang Cliche
Berbeda dengan Perahu Kertas yang menonjolkan kisah romantisme remaja, Perahu Kertas 2 membawa nuansa percintaan yang lebih dewasa. Bagaimana cinta bukan melulu soal bahagia dan tertawa, tapi juga tentang memaklumi dan memaafkan. Sayangnya, beberapa scene yang seharusnya bisa dieksekusi dengan memukau justru ditampilkan secara klise dan membosankan. Emosi dan chemistry di antara para pelakonnya juga tak begitu terasa. Datar dan tak bernyawa, terutama untuk Adipati Dolken yang masih saja sering luput memunculkan aura ke-Keenan-annya di scene-scene krusial.

Perahu Kertas 2 boleh dibilang  adalah film tentang bagaimana menyikapi pilihan dan juga mengikhlaskan pilihan yang tak diambil. Segala konflik-konflik yang diletupkan di dalamnya pada akhirnya akan berujung kepada pilihan yang harus diambil oleh tokohnya. Bukan cuma pilihan mengenai cinta, melainkan juga pilihan dalam hal passion dan jalan hidup. Bagaimana Keenan akhirnya kembali ke dunia lukis yang begitu dicintainya, dan Kugy yang akhirnya memilih keluar dari pekerjaannya di kantor Remi demi meneruskan impiannya menjadi penulis dongeng adalah contoh aplikasi lain dari wejangan Pak Wayan bahwa hati itu dipilih, bukan memilih.

Ada satu adegan yang paling saya ingat dari film ini dan membuat saya sedikit merenung di tengah-tengah membosankannya film, yaitu ketika Adri (August Melasz), ayah Keenan, akhirnya mengijinkan Keenan meneruskan petualangannya di dunia melukis, "Coba kamu bayangin kalau ikan jadi amfibi. Saat di air dia bahagia, tapi saat di daratan dia menderita. Manusia juga begitu, nggak bisa hidup di dua dunia. Dunia lukis itu air kamu, sudah cukup kamu berkorban selama ini. Sekarang giliran Papa." Ya, dialog-dialog yang touche seperti di atas memang jamak ditemui di Perahu Kertas 2, hanya saja, seperti sudah saya singgung di atas, penataan alur ceritanya yang terlalu cliche malah membikin touche-nya kurang tersampaikan, bahkan malah cenderung membikin film jadi membosankan.


Kesimpulan
Meskipun saya adalah pengagum Maudy Ayunda, tetap saja hal itu tidak dapat menolong Perahu Kertas 2 untuk jadi film yang bagus di mata saya. Yang bagus harus dinilai bagus, dan yang jelek tetap harus dilabeli jelek. Dan Perahu Kertas 2 sepertinya lebih cocok dengan kategori yang terakhir.

Dari mulai alur dan tempo yang berantakan, mediokernya akting dari beberapa lakonnya - terutama Adipati Dolken, seta penataan adegan yang membosankan dan klise, mau tak mau harus membikin nilai Perahu Kertas 2 menjadi jelek bukan main. Membandingkannya dengan prekuelnya saja sudah merupakan hal yang kurang ajar, apalagi kalau sampai mengkomparasinya dengan versi bukunya, sungguh bagai bumi dengan langit.

Kalaupun ada yang sedikit menolong Perahu Kertas 2, selain Maudy Ayunda tentunya, itu adalah berkat sinematografi dan scoring musiknya yang masih memikat, kumpulan kalimat-kalimat touche-nya, serta akting dari Reza Rahadian yang benar-benar brilian. Overall, saya cuma sanggup memberi nilai 5,5 saja buat Perahu Kertas 2. Masuk dalam kategori film yang medioker, tidak cukup jelek, meski juga sama sekali tidak bisa dibilang bagus.

Demikianlah.

Kamis, 20 September 2012

Perahu Kertas - Bagian 1 : Berlayar Dengan Indah


Garis Besar
"Hai Neptunus. Apa kabar wahai laut biru? Perahu kertas kali ini akan membawakan kisah perjalanan hatiku..." Monolog dari Kugy (Maudy Ayunda) tersebut, yang diiringi dengan alunan musik akustik plus sinematografi yang indah, berhasil membuka film ini dengan sangat manis. Dan hal tersebut sudah cukup untuk membikin saya jatuh hati dengan film ini, untuk kemudian duduk manis sepanjang filmnya diputar dan dengan senang hati menikmati film ini sampai habis.

Perahu Kertas, sebagaimana yang saya tangkap dari filmnya, karena saya memang tak membaca novelnya, adalah romantisme dua orang remaja, Kugy dan Keenan (Adipati Dolken), yang sedang berusaha menggapai cita-citanya masing-masing. Kugy, gadis manis berotak brilian namun memiliki kepribadian yang aneh serta imajinasi yang kelampau batas, sedari kecil bercita-cita menjadi penulis cerita dongeng bagi anak-anak. Sementara Keenan, blasteran Belanda yang dipaksa kuliah Ekonomi oleh orangtuanya, memiliki obsesi menjadi seorang pelukis. Tanpa disadari, passion berbeda yang mereka miliki masing-masing itu malah membuat mereka cocok dan begitu nyambung satu sama lain. Kugy mendapat lecutan untuk terus menulis dongeng dari lukisan Keenan, dan Keenan mendapat inspirasi untuk goresan gambar dan lukisannya dari Kugy. Perasaan di antara keduanya mulai terbangun.

Tapi kemudian arus waktu melaju, dan perjalanan kehidupan terpaksa membuat Kugy dan Keenan harus saling menjauh satu sama lain. Kugy berusaha keras menuntaskan studi sastranya di Bandung, sembari menyambi jadi pengajar sukarela di sebuah sekolah sosial. Sementara Keenan memilih mengasingkan diri dengan kabur ke Bali. Di sana ia memperdalam ilmu seni lukisnya bersama Pak Wayan (Tio Pakusadewo), sahabat Ibunya.

Mereka berdua terus larut dalam dunia dan kesibukannya masing-masing. Lalu ketika akhirnya mereka mulai saling mencoba melupakan satu sama lain, dengan Kugy yang mulai dekat dengan Remi (Reza Rahardian) dan Keenan yang mulai terpikat pada Luhde (Elyzia Mulachela), nasib malah mempertemukan mereka kembali, dalam suatu momen yang tak pernah mereka antisipasi sebelumnya.


Kugy > Keenan
Saat produser pertama kali merilis bahwa Maudy Ayunda akan memerankan tokoh Kugy, dan Adipati Dolken akan berakting sebagai Keenan, konon, tidak sedikit reaksi negatif yang dituai dari para penggemar novelnya. Kebanyakan dari mereka berpendapat kalau Maudy dan Adipati tak akan cukup mampu membawakan karakter Kugy-Keenan, serta membangun chemistry di antara keduanya seciamik yang digambarkan dalam versi novelnya. Tapi toh Perahu Kertas terus melaju, dengan tetap menempatkan dua orang itu, di atas kapal mereka.


Sebagai penggemar Maudy Ayunda, kesan yang saya tangkap dari aktingnya memerankan Kugy mungkin agak sedikit bias. Dari kacamata saya, Maudy cukup berhasil memerankan Kugy yang unik, periang, serta memiliki imajinasi luar biasa, terutama saat dia mulai ngoceh soal dunia dongeng dan Neptunus. Jangan lupakan juga soal pernak-pernik Kura-kura Ninja dan poster "Karma Chameleon" yang berhasil membikin Maudy tampak seperti gadis yang hidup di dunia paralel. Tak cuma itu saja, Maudy yang memang selalu bisa membikin sebuah karakter menjadi amat lovable lewat senyumnya itu, sekali lagi berhasil mengaplikasikan keahliannya itu kepada Kugy. Akting Maudy adalah salah satu energi utama yang membikin Perahu Kertas menjadi sebuah film yang sangat berwarna dan memorable. Jadi, agak aneh saja saat teman saya, yang sudah khatam membaca novelnya, mengatakan kalau Maudy gagal memerankan Kugy. Bagi saya, akting Maudy sebagai Kugy sangat acceptable.

Hal yang agak sedikit berbeda terjadi pada Adipati Dolken. Performanya sebagai Keenan benar-benar bak roller coaster. Pada suatu momen aura ke-Keenan-anya akan sangat terasa meluap-luap, terutama di awal-awal film. Tapi tak jarang juga ia terlihat gagal membangun chemistry dengan lawan mainnya di beberapa scene. Kharismanya sering timbul tenggelam. Terutama dalam scene-nya dengan Wanda (Kimberly Ryder), yang harusnya bisa dieksekusinya dengan memukau. Beruntung, Ia masih sempat menampilkan senjata andalannya dalam pengucapan dialog-dialog yang touche, seperti yang dilakukannya dalam Malaikat Tanpa Sayap, sehingga rapor aktingnya jadi tak butut-butut amat di mata saya.


Alur dan hal-hal yang belum selesai
Mengadaptasi novel menjadi sebuah film umumnya sering terkendala dalam soal alur. Berbeda dengan buku yang tak membatasi jumlah maksimal halaman, film amat terbatasi dengan durasi waktu penayangan. Hal ini mau tak mau membuat sutradara dan penulis skenario harus pintar-pintar memilah-milah momen mana yang penting dan harus muncul dalam filmnya, sembari tetap menjaga benang merah dengan kisah yang tertulis di bukunya. Maka kalau tak pintar-pintar dalam menukilnya, kekecewaan dari penonton yang sudah membaca bukunya hampir pasti akan dipanen.


Dan Perahu Kertas, dari apa yang saya tangkap dari teman saya yang sudah membaca bukunya, juga memiliki masalah yang serupa. Padahal Dee Lestari, sang empunya buku, sudah rela terjun langsung sebagai penulis skenario demi membikin filmnya benar-benar dapat menerjemahkan imajinasi dari pembacanya secara visual. Toh, alur dalam Perahu Kertas masih dirasa terlalu cepat dan melompat-lompat bagi mereka yang sudah membaca bukunya. Beberapa momen-momen yang dirasa penting juga dihilangkan, sehingga membikin ceruk-ceruk imajinasi yang tak terjawab di kepala penonton yang sudah membaca bukunya. Mungkin memang sebaiknya film dan novel Perahu Kertas ini diapresiasi sebagai dua buah karya yang berbeda, tanpa harus saling mengkomparasi antar keduanya.

Saya sendiri tak bisa mengomentari soal alur secara komprehensif. Karena saya memang belum membaca novelnya, untuk kemudian membandingkannya dengan filmnya. Dan mungkin saja, saya harus merasa bersyukur karena hal tersebut. Untuk penonton yang belum membaca bukunya seperti saya, mungkin tak terlalu mengalami masalah dengan alur. Saya menikmati alur dalam Perahu Kertas. Dan pergantian waktu yang digambarkan dengan mosaik-mosaik  bergas oleh Hanung Bramantyo selaku sutradara, sudah cukup membikin saya mengerti bagaimana jalan cerita dari Perahu Kertas coba digambarkan. Dan karena film ini belum selesai (masih akan ada bagian yang kedua), saya akan dengan senang hati kembali menyambangi bioskop kala sekuelnya sudah mulai tayang, Oktober kelak.



Kualitas gambar dan scoring yang amazing
Hal lain yang mencuri perhatian dari Perahu Kertas adalah kualitas sinematografinya yang bagus serta pemilihan scoring-nya yang memukau. Saya memang kurang begitu paham soal teknis dan istilah-istilah perfilman, tapi Perahu Kertas adalah film yang benar-benar memanjakan indera penglihatan dan pendengaran. Setidaknya untuk ukuran film drama Indonesia.

Gambarnya yang clean dan sharp, lighting yang prima, dan ditambah dengan pemilihan set-set yang sebenarnya klise tapi entah kenapa terasa indah dan pas, membuat Perahu Kertas jadi nikmat untuk dilihat. Beberapa efek lensflare dan bocea ala-ala toycam dan instagram yang diselipkan dalam beberapa adegan juga memukau sekaligus menggenapi romantisme yang coba dibangun dari jalan ceritanya.

Sementara untuk urusan soundtrack dan scoring, Perahu Kertas benar-benar mengoptimalkan kinerja departemen musikal mereka dengan menyuguhkan scoring yang indah dan selaras dengan jalan cerita. Petikan gitar akustik mengalun saat suasana sedang romantis, string section yang megah saat konflik sedang terjadi, ataupun denting piano yang menemani di scene-scene sedih, mungkin bukan sesuatu yang istimewa. Tetapi untuk ukuran film Indonesia, yang biasanya cuma mencomot lagu-lagu sebagai scoring ala kadarnya, apa yang dilakukan Perahu Kertas membuatnya terasa istimewa.

Lagu-lagu yang mengisi soundtrack-nya bagus, sesuai dengan jalan cerita, serta porsinya tak terlalu berlebihan sebagai salah satu elemen pendukung dari sebuah film. Perahu Kertas adalah salah satu film yang mampu membuat saya mengubek-ubek pelbagai situs sharing file di dunia maya demi mengunduh lagu-lagu soundtrack-nya sepulangnya dari bioskop. Dan soal kenapa saya adalah seorang cheap bastard yang memilih untuk mengunduh lagu-lagu secara ilegal di situs-situs sharing file sepertinya tidak perlu dibahas lebih lanjut di sini.


Kesimpulan
Perahu Kertas benar-benar sebuah film yang cukup menghibur serta optimal dari segi produksinya. Untuk sebuah film yang mengadaptasi kisah novel, Perahu Kertas mungkin masih menyisakan sedikit kekecewaan bagi mereka yang sudah menamatkan novelnya. Akan tetapi karena menyenangkan semua orang adalah sesuatu yang mustahil, Perahu Kertas memilih tetap melaju dengan caranya sendiri untuk mencoba menyenangkan penontonnya. Dan saya adalah salah satu penontonnya yang benar-benar terhibur.

Mungkin saja karena saya belum pernah membaca novelnya. Atau mungkin juga tidak. Sebab kenyataannya, Perahu Kertas memang sebuah film yang bagus dan layak untuk disaksikan. Saya memberinya nilai 8 dari skala 10. Masuk dalam kategori outstanding movie yang menarik untuk disimak. Mungkin seharusnya hanya saya beri nilai 7,5 saja, tapi berhubung ada Maudy Ayunda di dalamnya, dan lagipula soundtrack-nya bagus, dan juga sinematografiya memukau, saya dengan senang hati menambahkan 0,5 dari nilai overall-nya.

Demikianlah

Selasa, 08 Mei 2012

The Raid : Dihantam Kekaguman Bertubi-tubi


 Garis Besar 
Cerita bikinan Gareth Evans ini sejatinya tidak istimewa, bahkan boleh dibilang sangat klise dan bercita rasa video game. Dikisahkan bagaimana serombongan pasukan elit ditugaskan (sebenarnya tidak benar-benar "ditugaskan" sih, yang sudah nonton pasti paham) untuk menyerbu apartemen kumuh yang didedengkoti oleh bos penjahat kelas kakap bernama Tama (Ray Sahetapy), beserta dua orang kaki tangannya yang paling setia serta beringas: Andi (Donny Alamsyah) dan Mad Dog (Yayan Ruhian). Tujuan pasukan ini sederhana, seperti kata Sersan Jaka (Joe Taslim), ketika memberikan briefing sebelum melakukan penyerbuan : "... kita masuk, tangkap, dan seret mereka keluar!"

Kenyataannya, tugas mereka tidak sesederhana itu. Tiap lantai di apartemen ini berisi penuh oleh penjahat-penjahat dengan pelbagai macam modus kriminal. Mulai dari pecandu narkoba, preman bertato, penembak jitu, tukang pukul, sampai pembunuh kelas kakap yang tak segan-segan mencocok mata anda dengan pisau belati ataupun mengoyak daging-daging di badan dengan berondongan peluru timah. Mereka adalah penjahat, sejak dalam pikiran.

Dan lantai demi lantai di apartemen ini bak tahapan stage dalam permainan video game yang harus dilalui oleh Jaka dan pasukannya, lengkap dengan rintangannya masing-masing. Dan ketika situasi mendadak berubah menjadi tak menguntungkan bagi mereka, pilihan yang bisa mereka afirmasi cuma dua : membunuh para penjahat itu satu per satu, atau terbunuh secara sadis di tangan mereka.


Opening yang hening
Mengangkat cerita tentang penyerbuan pasukan elit/special forces ke sarang penjahat, film ini mengejutkan saya dengan menampilkan scene pembuka berupa Rama (Iko Uwais), sang protagonis utama, sedang menjalankan ibadah sholat shubuh dan memanjatkan doa dengan khusyuk menjelang keberangkatannya ke medan laga, yang kemudian dilanjutkan dengan adegan pamitan kepada sang istri yang tengah mengandung, serta kepada sang ayahanda. Sebuah pilihan scene pembuka yang hening dan benar-benar di luar prediksi saya. Saya pikir, tadinya, scene pembuka The Raid akan langsung tancap gas dengan baku hantam sejak menit awal. Nyatanya, Gareth Evans sukses membikin saya kecele dengan scene sholat shubuhnya yang memberi titik tolak penuh keheningan sebelum beranjak menuju fase eksplosif dan brutal. Well done, Evans.


Berkelahi sejak dalam pikiran
Adegan fighting memang jadi dagangan utama dari film ini. Kita semua tentu paham, keberadaan kuartet Gareth, Iko, Donny dan Yayan adalah jaminan mutu terciptanya adegan fighting yang berkualitas dan seru. Hal itu sudah terbukti di film mereka yang sebelumnya --Merantau-- yang banyak membikin takjub penontonnya. Dan pada The Raid, mereka kini hadir dengan versi upgraded-nya. Satu level di atas Merantau.

Berbeda dengan Merantau yang tak begitu banyak memuncratkan darah, The Raid adalah film yang bergelimangan darah di mana-mana. Elemen gore dan slasher banyak terasa di film ini. Leher terbacok, pipi yang sobek, bola mata yang dicongkel, hingga darah mancur akibat kulit ditusuk dengan lampu neon adalah adegan-adegan berlumuran darah yang akan jamak tertangkap mata dalam film ini. Hal ini tentu saja amat sangat menggairahkan bagi yang menggemari adegan-adegan semodel itu. Scene yang paling keren tentu saja ketika Iko membanting seorang penjahat sambil menjatuhkan diri hingga kepala si penjahat menancap ke kayu-kayu tajam bekas pintu yang telah jebol. Shit! that was the most hilarious fatality I've ever seen. Effin A!

Dari segi baku hantam, gerakan-gerakan fighting dari Iko, Yayan, Donny, Joe Taslim bahkan hingga pemeran pembantu sekalipun, kelihatan sangat natural hingga mampu membikin penontonnya menahan nafas dan ikut terbawa ketegangan dalam arena laga. Martial arts yang dipakai masih didominasi gerakan-gerakan pencak silat seperti pada Merantau, yang konon memang hendak ditonjolkan dalam film ini, dengan sedikit kombinasi dari muay-thai dan karate. Untuk level sebuah film action, The Raid sukses besar membikin kita merasakan efek pegal-pegal akibat urat syaraf yang dipaksa ikut menegang ketika menyaksikan adegan-adegan perkelahiannya yang super cepat dan seru.

Hal ini masih ditunjang dengan scoring yang klop, pemilihan angle kamera yang kadang nyeleneh, serta pemilihan perabot-perabot yang detil bukan main. Khusus untuk detil, tim The Raid benar-benar bekerja keras sehingga mampu menghadirkan gambaran apartemen kumuh yang "Indonesia banget", bahkan untuk set yang hanya sekelebatan saja.

Coba saja perhatikan keberadaan termos bermotif kembang-kembang, drum sampah warna biru, tempat sendok dari mika berwarna jambon, hingga sekat ruang yang dibuat dari triplek. Kesemua hal itu adalah manifestasi dari "apartemen" masyarakat kelas bawah di negara kita. Dan keberadaanya dalam set-set The Raid, mengindikasikan bagaimana kerja keras tim produksi The Raid untuk menghasilkan film yang berkualitas dan tidak main-main. Untuk yang satu ini, kerja mereka jelas layak untuk diapresiasi. Salut.


Dialog yang kagok
Selain plot cerita yang kurang begitu istimewa, beberapa orang juga memberikan kritik tajam atas script dialog The Raid yang dinilai terlalu baku dan kurang luwes. Kebakuan bahasa ini tentu membikin penonton sedikit mengernyitkan dahi atas pilihan kata-kata yang terkesan disadur langsung dari penerjemah ala google translate. Beberapa aktor juga aktingnya jadi tak begitu maksimal karena keberadaan script yang kurang luwes ini. Ambil contoh saja bagaimana akting Sersan Jaka di awal-awal film yang nampak lebih mirip seperti orang yang sedang berkumur-kumur ketimbang sosok opsir gagah yang sedang memberikan instruksi penyerbuan markas penjahat.

Salah satu dialog yang paling awkward tentu saja ketika seorang penjahat dengan logat ambon berseru ngeri "Kalau saya muak, saya menggila!" pada lawan bicaranya. Entah apa maksud dari Gareth Evans menaruh dialog macam itu, tapi sepanjang pengamatan saya, seisi studio sempat hening beberapa detik ketika menyimak dialog tersebut sebelum akhirnya meledak dalam tawa berjama'ah. Sungguh momen yang membikin geli kalau diingat-ingat lagi.

Dari segi akting non bertarung, The Raid benar-benar ditolong oleh dua aktor senior: Ray Sahetapy dan Pierre Gruno. Kedua aktor ini menunjukkan betul bagaimana pengalaman mereka malang melintang di dunia perfilman selama berpuluh-puluh tahun. Khusus untuk Ray, aktingnya di film ini benar-benar layak diacungi  empat jempol. Kesan sebagai bos mafia yang bengis dan berdarah dingin amat sangat tercitrakan dalam setiap tindak tanduknya. Aktor-aktor lain sebenarnya tak bisa dibilang berakting buruk, hanya saja tetap tak ada yang seistimewa akting Ray Sahetapy.


Kesimpulan
Untuk sebuah film action, The Raid benar-benar memberi dimensi baru bagi perfilman Indonesia. Kualitasnya berada dua sampai tiga level di atas film action lokal biasanya. Poin minus pada skrip dialog dibayar tunai tanpa minta kembalian dengan hadirnya aksi baku hantam kelas satu yang dikombinasikan dengan elemen slasher. Menonton film semodel ini memang sudah seharusnya menitikberatkan pada adegan laganya. Tak perlulah mengilik-ilik urusan dialog yang memang cuma bisa jadi selilit saja. Dan untuk soal adegan gelut, The Raid memang jawaranya. Segala omong besar yang digembor-gemborkan orang-orang tentang film ini sejak akhir tahun lalu memanglah sebuah fakta sahih. The Raid memang sebuah film yang menakjubkan.

Overall film ini saya beri nilai 9, masuk dalam kategori sensasional nan luar biasa. Mengingat film ini adalah karya anak negeri (terbukti dari credit title-nya yang mayoritas dihiasi nama-nama pribumi), meskipun disutradarai oleh orang Wales, The Raid boleh jadi akan dipatok sebagi benchmark bagi dunia perfilman Indonesia. Siapa tahu dengan melejitnya The Raid, kedepannya akan muncul lagi film-film yang kualitasnya setara atau bahkan melebihi The Raid. Siapa tahu?

Demikianlah.