Selasa, 22 Oktober 2013

Manusia Setengah Salmon: Kisah Tentang Perpindahan yang Minim Nuansa Baru


Menghasilkan tiga film hanya dalam rentang satu tahun, juga dalam selang periode yang tidak begitu rumpang, Raditya Dika sepertinya sedang menjalani fase produktifnya sebagai seorang penulis naskah. Rasa-rasanya belum lama waktu berlalu sejak dua film terbarunya, Cinta Brontosaurus (2013, Fajar Nugros) dan Cinta Dalam Kardus (2013, Salman Aristo), mentas di layar lebar beberapa waktu silam. Akan tetapi sekarang, Dika sudah muncul lagi dengan mengusung Manusia Setengah Salmon sebagai film teranyarnya, yang mulai naik layar sejak 10 Oktober kemarin.

Garis Besar
Sesuai dengan judulnya, Manusia Setengah Salmon memang mengambil basis cerita dari buku terakhir Dika yang berjudul serupa. Berkisah tentang keluarga Dika yang berencana pindah ke rumah baru karena sudah tak merasa nyaman lagi menempati rumah yang sekarang, film ini mengambil poros cerita dari pencarian Dika dan keluarganya untuk menemukan rumah yang nyaman dan cocok dengan keluarga mereka. Dari sana, cerita kemudian bercabang ke pelbagai macam subplot yang heterogen, namun tetap dengan ideologi yang segendang-sepenarian: sebuah perpindahan.

Tentang Dika yang masih saja kesulitan berpindah hati dari Jessica (Eriska Rein), mantan kekasihnya, walaupun telah menemukan "rumah baru" dalam diri Patricia (Kimberly Ryder). Juga tentang bagaimana Dika susah payah bertahan hidup kala terjadi "perpindahan" supir di belakang kemudi mobilnya. Sampai dengan yang sedikit sentimentil, bagaimana perpindahan pandangan antara Dika dan ayahnya (Bucek Depp), yang kian menua malah kian berbalik.

Pada akhirnya, fragmen-fragmen tentang perpindahan tadi berkulminasi pada satu kesimpulan: suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, manusia memang harus bisa dan terbiasa menghadapi setiap perpindahan yang terjadi dalam hidupnya. Sebab kita semua, termasuk Raditya Dika, adalah makhluk-makhluk yang senantiasa berenang dalam arus aliran perpindahan yang dinamis. Seperti ikan-ikan salmon yang hidup di perairan Alaska sana.


Perbaikan yang Minimalis
Meskipun bukunya tidak saling berkoneksi secara langsung, dalam versi layar lebarnya, Manusia Setengah Salmon justru dibikin sebagai sekuel dari Cinta Brontosaurus. Jika pada predesesornya Fajar Nugros duduk di kursi sutradara, kali ini tampuk kehormatan untuk men-direct adegan diserahkan ke tangan Herdanius Larobu, pria yang juga berpartisipasi dalam penggarapan Cinta Brontosaurus sebagai desainer grafis.

Secara performa, Manusia Setengah Salmon memang mengalun sedikit lebih baik dibanding prekuelnya. Capluk, sapaan akarab Herdanius, dan juga Raditya Dika selaku script writer, telah melakukan perbaikan-perbaikan yang, katakanlah, berhasil membikin Manusia Setengah Salmon menjadi sedikit lebih kenyal dan pejal untuk dinikmati. Sepanjang 100 menit durasinya, Manusia Setengah Salmon tak cuma menyuguhkan komedi-komedi absurd atau kisah percintaan putus-nyambung tipikal Raditya Dika, tetapi juga menyelipkan lebih banyak fragmen-fragmen di dalam keluarga yang membuat jalinan ceritanya semakin solid dan menarik untuk disimak.

Dari departemen akting, Manusia Setengah Salmon tampak pincang karena ditinggal sosok Kosasih (Soleh Solihun) yang begitu mercusuar di Cinta Brontosaurus. Hadirnya dua komika kawakan sebagai komplementer untuk mengawal barisan komedi, Mo Sidik dan Insan Nur Akbar, ternyata masih kurang mampu menambal ceruk besar yang telah ditinggalkan Kosasih. Beruntung, pemeran-pemeran lawas, termasuk Raditya Dika sendiri (admit it, akting Dika dalam film-filmnya yang sebelumnya kerap terlihat berlebihan dan tidak natural), berhasil meningkatkan kualitas akting mereka sehingga memulas presentasi Manusia Setengah Salmon menjadi lebih empuk untuk dinikmati. Predikat screen stealer layak disematkan kepada Griff Pradapa, yang memerankan tokoh Edgar dengan memikat.


Masih Saja Mengusung Templat Lama
Jika ada hal yang cukup mengganggu dari Manusia Setengah Salmon, tentu saja adalah fakta bahwa film ini masih saja mengusung templat lawas yang dipakai dalam prekuelnya. Jika kita melihat secara makro, akan terlihat betul bagaimana Manusia Setengah Salmon hanyalah sekedar versi 1.2 dari Cinta Brontosaurus. Dari mulai opening scene yang membawa kita flashback ke masa kecil Dika, mantan kekasih yang tiba-tiba muncul lagi hanya untuk memberi kalimat-kalimat bijaksana kepada Dika, juga kembali munculnya scene-scene komedi garing tentang pocong, kuntilanak dan kawan-kawannya, semuanya sudah khattam kita lihat dalam film-film Raditya Dika.

Penggunaan templat ini semakin terasa mengganggu karena formula yang digunakan untuk membungkus ending cerita pun, masih saja sebelas-dua belas dengan Cinta Brontosaurus. Bukankah adegan ketika Dika tergesa-gesa menemui kembali pacar yang telah putus hubungan dengannya, dilanjutkan dengan keluarnya kalimat-kalimat semi gombal dan sedikit quotable bagi penonton kawula muda, yang kemudian ditutup dengan kembali berseminya hubungan cinta mereka adalah adegan yang telah sama-sama kita lihat di penghujung Cinta Brontosaurus?

Pola yang klise ini tentu saja membikin perbaikan-perbaikan yang saya sebut di awal tadi menjadi terasa sepele dan kurang signifikan bagi presentasi filmnya secara keseluruhan. Apa yang dilakukan tim produksi Manusia Setengah Salmon tak ubahnya hanya memoles sedikit jalan setapak yang sudah diretas oleh Cinta Brontosaurus. Sedikit ironis, karena dalam sebuah film yang mengambil tema tentang perpindahan,  dalam proses produksinya sendiri justru tidak ada "perpindahan" yang dilakukan. Atau seandainya katakanlah ada "perpindahan", tentulah cuma "perpindahan" yang tidak jauh-jauh dari tempat semula.



Kesimpulan
Pada akhirnya, jika dibandingkan dengan prekuelnya, Manusia Setengah Salmon memang telah melakukan tambal sulam yang baik di beberapa lubangnya. Herdanius Larobu dan Raditya Dika berhasil menyuguhkan jalan cerita rom-com yang jauh lebih solid. Akan tetapi begitu banyaknya pola-pola adegan yang segendang-sepenarian dengan pendahulunya, mau tak mau membikin film ini menjadi terlihat klise jika ditilik secara makro. Padahal, dengan basis cerita yang kuat dan sedikit filosofis dari bukunya, film ini seharusnya mampu dipresentasikan dengan lebih baik.

Jika Anda belum lagi bosan dengan Raditya Dika dan gaya komedinya, film ini memang masih cukup menghibur untuk ditonton. Tetapi bagi Anda yang sudah merasa jenuh dan sering kecewa dengan hasil akhir film-film Raditya Dika sebelumnya, saya pikir membaca ulang bukunya akan lebih  bermanfaat bagi Anda ketimbang menonton film ini. Saya memberi nilai 5,5 untuk film ini melulu karena begitu banyaknya scene klise yang sepola dengan prekuelnya. Padahal, andai mampu dieksekusi dengan lebih baik, film ini terlihat menjanjikan.

Demikianlah.

Minggu, 28 April 2013

Hari ini Pasti Menang: Mozaik Hitam Putih dari Lapangan Hijau


Kebanyakan film yang mengambil tema sepakbola berkisah tentang perjuangan menggapai mimpi dari sang protagonis. From zero to hero, semangat pantang menyerah menuju tangga juara, atau alur cerita yang tak jauh-jauh dari kedua hal tersebut. Garuda di Dadaku (2009 dan 2011), Tendangan dari Langit (2010), sampai dengan franchise terkemuka Hollywood, Goal! (2005, 2008 dan 2009), punya benang merah tersebut di dalam pengisahan ceritanya.

Tapi Andibachtiar Yusuf memang bukan sineas yang doyan menapaktilas jejak langkah sutradara-sutradara lain dalam meracik formula untuk filmnya. Ucup, sapaan akrabnya, lebih memilih meretas jalan cerita yang benar-benar berbeda dengan pakem mainstream yang dipakai dalam film-film tadi. Jadi kalau anda berharap Hari ini Pasti Menang adalah film yang bertutur tentang lika-liku perjuangan Gabriel Omar Baskoro (Zhendy Zain), sang tokoh utama, dalam menggapai puncak prestasi sepakbolanya, anda jelas akan kecele. Sebab, Hari ini Pasti Menang memang bukan film yang melulu berisi tentang GO8, sang topskor Piala Dunia 2014 itu. Hari ini Pasti Menang punya pesan dan agenda yang jauh lebih besar daripada itu.


Garis Besar
Indonesia, dalam dunia rekaan milik Andibachtiar Yusuf, bukan lagi sebuah negara yang inferior dalam urusan sepakbola. Tim nasionalnya mampu berprestasi dengan adiluhung. Tidak hanya sampai di level Asia saja, Skuat Garuda telah menancapkapkan kukunya ke pentas Piala Dunia, bahkan sanggup melaju hingga ke fase perempatfinal.

Industri sepakbolanya pun sudah mapan. Berbekal kepengurusan PSSI yang mengelola kompetisinya dengan memegang teguh purwarupa modern football secara bernas, Liga Utama Indonesia telah menjadi sebuah kompetisi yang tak lagi dipandang sebelah mata oleh para investor untuk menanamkan modalnya. Sepakbola Indonesia telah menjadi bisnis, sepakbola Indonesia telah menjadi industri, sepakbola Indonesia telah mengangkasa ke level yang profesional.

Pun begitu dengan sosok Gabriel Omar Baskoro. Sosoknya —berkat penampilan gemilangnya di pentas Piala Dunia, serta dua kali membawa Jakarta Metropolitan menjadi jawara Asia— telah menjelma menjadi sebuah ikon sepakbola, yang gilang gemilang dalam urusan prestasi, uang, serta popularitas di usianya yang masih belia. Penampilannya bersama Jakarta Metropolitan dan tim nasional selalu dinantikan oleh para fans-nya. Tanda tangan, foto, serta merchandise dan produk-produk yang berkaitan dengan dirinya, adalah memorabila yang wajib dikoleksi oleh siapapun yang menyukai sepakbola.


Sepintas tak ada yang salah dengan hal-hal di atas. Sepakbola Indonesia telah berkembang dan mengindustri secara modern. Timnas juga mampu berprestasi secara apik sampai ke panggung internasional. Kalaupun tingkah GO8 sedikit nakal dan arogan, itu masihlah dapat dimaklumi karena status mega bintangnya yang begitu mercusuar. Tapi siapa sangka jika industri sepakbola modern ternyata juga menyimpan banyak borok dan bopeng di dalamnya? Maraknya perjudian,dari mulai yang melibatkan nominal di swarung simpang terminal, sampai dengan pemain kelas kakap yang rela mempertaruhkan aset bernilai miliaran, adalah hal yang lumrah dan jamak ditemui dalam persepakbolaan Indonesia.

Borok terselubung modern football tersebut kian bernanah ketika ternyata perjudian yang marak itu telah menggurita dan ikut mempengruhi hasil akhir di lapangan hijau. Skandal pengaturan skor dan penyuapan terhadap pemain dan ofisial pertandingan bukan sekali dua terjadi dalam keberlangsungan kompetisi. Banyak skor aneh dan hasil-hasil kontroversial yang mewarnai jalannya kompetisi sepakbola tanah air. Hal ini rupanya mendorong Andini Zulaikha (Tika Putri), wartawati cantik yang juga sahabat Gabriel sejak kecil, untuk melakukan investigasi tentang skandal match fixing ini. Kecurigaannya pun ikut melibatkan dua sosok sentral sepakbola tanah air: Gabriel Omar Baskoro dan coach Dimas Bramantyo (Ray Sahetapy), pelatih Jakarta Metropolitan FC.

Dan pelan tapi pasti, investigasi Andin mulai menemui titik terang tentang siapa-siapa saja pihak yang terlibat dalam praktek kongkalikong busuk yang mencederai nilai-nilai sportivitas olahraga tersebut.



Tersendat karena Padat
Seperti sudah ditulis di atas, Hari ini Pasti Menang memang memuat banyak pesan yang coba disampaikan kepada pemirsanya. Di satu sisi, ini membuat cerita jadi relatif majemuk sehingga memperkaya wawasan penontonnya, utamanya yang tak mengerti soal tetek bengek persoalan sepakbola. Tapi di sisi lain, hal ini juga menjadi sebuah kelemahan yang membuat Hari ini Pasti Menang agak kurang nyaman untuk dinikmati karena pembangunan konfliknya terasa begitu cepat dan tidak di-digging secara mendalam betul. Ini semakin ditunjang dengan eksekusi scene yang cukup sering memakai adegan-adegan klise—utamanya di paruh kedua film—sehingga membikin kelezatan Hari ini Pasti Menang sedikit berkurang kala disantap.

Dari departemen akting sendiri, Zhendy Zain selaku poros utama cerita tampil kurang mengesankan dalam membawakan sosok Gabriel Omar. Karakter GO8 yang cocky, arogan, dan sedikit ngehe, dibawakannya dengan kurang istimewa, utamanya dalam soal penekanan intonasi bicara. Beruntung, dalam aktingnya kala beraksi di lapangan hijau, Zhendy mampu tampil cukup baik dan meyakinkan layaknya striker kelas dunia sungguhan. Secara keseluruhan, akting Zhendy boleh dibilang tenggelam diantara deretan nama besar milik Ray Sahetapy serta Mathias Muchus, yang berlakon dengan gemilang sebagai ayah Gabriel. Belum lagi dengan mencuatnya penampilan screen stealer macam Dedy Mahendra Desta serta Verdi Solaiman yang tampil outstanding, semakin membikin penampilan Gabriel Omar di film ini terasa  kurang begitu mercusuar.

Atau barangkali memang begitulah keinginan dari sang sutradara yang tak ingin terlalu menyorot sang tokoh utama dan lebih menitikberatkan pada delivering message dari filmnya sendiri. Ini juga didukung dengan alur cerita yang memang tak begitu dalam mengekspos sosok Gabriel Omar sendiri. Well, jika melihat rekam jejak pada filmografi Andibachtiar, dugaan tersebut boleh jadi memang benar suatu keniscayaan.


Setan itu Ada Pada Detil
Membikin sebuah alternate universe dalam film bukanlah sesuatu yang mudah, apalagi jika perbedaan yang ada antara realita dengan filmnya begitu jauh kentara. Hari ini Pasti Menang mengalami proses tersebut dalam penggarapannya, namun berhasil melewatinya dengan apik. Persepakbolaan Indonesia yang dalam realitanya begitu banal dan jauh dari kata profesional, berhasil disulap oleh Ucup dan segenap kru Bogalakon Pictures menjadi modern serta mengindustri.

Dari mulai properti stadion, seragam pemain, atribut suporter, sponsor tim, sampai dengan detil-detil kecil macam badge logo klub serta semboyan milik klub, semuanya dihadirkan dengan penuh seluruh demi menunjang atmosfer industri sepakbola modern yang hendak digambarkan dalam Hari ini Pasti Menang. Hadirnya sejumlah pemain sepakbola sungguhan seperti Andritany Adhyaksa, Atep, Hasyim Kipuw dan Joko Sasongko yang tampil sebagai cameo, semakin mengesankan kalau penggarapan detil dalam film ini memang benar-benar dikerjakan secara serius.

Dan atas penggarapan detil yang mengesankan itu, kerja keras tim produksi Hari ini Pasti Menang sangat layak untuk diacungi jempol. Oh, terkecuali untuk pemilihan Ibnu Jamil sebagai pemeran Bambang Pamungkas sih. He doesn't suited in very well.


Kesimpulan
Sebagai sebuah film yang hendak menyampaikan banyak pesan dan sentilan terhadap persepakbolaan tanah air, Hari ini Pasti Menang memang tidak sepenuhnya mengalir dengan lancar. Cukup banyaknya sub-plot yang ada di film ini kadangkala justru film ini terasa goyah dan membikin presentasi Hari ini Pasti Menang menjadi sedikit tersendat, utamanya di paruh akhir cerita. Toh meskipun demikian, Hari ini Pasti Menang juga punya banyak keunggulan yang layak untuk diapresiasi. Penggarapan detilnya cermat dan serius. Pemilihan tema ceritanya yang orisinil dan keluar dari pakem mainstream film sepakbola kebanyakan pun harus diakui adalah sebuah keputusan yang berani sekaligus cerdas.

Saya memberi nilai 7,5 untuk Hari ini Pasti Menang. Bukan hanya karena kebernasan dalam penggarapan detil dan jalan ceritanya saja, melainkan karena film ini juga merupakan sebuah doa dan sentilan tajam bagi kondisi persepakbolaan kita yang kian hari kian memprihatinkan. Lewat film ini, Andibachtiar secara tidak langsung telah memberi contoh bagi para pengurus PSSI, bagi segenap insan sepakbola Indonesia, dan juga bagi kita semua, tentang bagaimana purwarupa konsep modern football dijalankan, lengkap dengan pelbagai macam borok dan bopeng yang harus dieliminasi.

Pada akhirnya, kita memang lagi-lagi cuma bisa berharap, kelak, apa yang digambarkan dalam Hari ini Pasti Menang, bukan lagi sekedar alternate universe yang bisa kita saksikan lewat layar bioskop belaka, melainkan telah menjelma menjadi sebuah realita yang bisa kita saksikan dengan penuh seluruh. Ah, terkecuali untuk maraknya perjudian dan praktek kotor pengaturan skor, saya rasa lebih baik itu cuma kejadian di film saja.

Demikianlah.

~tanbihat: Jangan terburu-buru meninggalkan tempat duduk anda ketika credit title mulai menampakkan diri di layar, sebab... ah tonton sendiri saja deh. Anda akan menyesal kalau melewatkan yang satu ini.

Minggu, 10 Maret 2013

Rectoverso : Parade Kisah Cinta Platonis

Garis Besar
Mengambil judul yang sama dengan noveletnya, sebuah kumpulan cerpen karangan Dee, Rectoverso menghadirkan sebuah film omnibus yang memvisualisasikan lima buah kisah terpilih dari sebelas kisah yang tertulis dalam bukunya. Tidak seperti kebanyakan film omnibus yang memakai peralihan segmen one per one, Rectoverso memilih menggunakan metode interwoven dalam penuturan kisahnya. Bagi yang pernah menyaksikan Dilema (2012) tentu tak asing lagi dengan penggunaan interwoven, dimana segmen-segmen dalam filmnya ditampilkan secara berselang-seling, seperti layaknya pergantian sebuah scene pada umumnya, sebelum akhirnya bermuara pada ending masing-masing segmen, yang menampilkan klimaksnya secara bertururt-turut.

Selain memakai metode bertutur yang unik, Rectoverso juga dibesut oleh lima sutradara yang berbeda. Lebih menarik lagi karena kelima sutradara kita ini semuanya wanita, semuanya pernah besar dalam dunia akting, dan semuanya tergolong pemula dalam soal men-direct film. Untuk yang terakhir itu, barangkali bukan sesuatu yang menarik memang, bahkan malah membuat kita sedikit waswas terhadap kualitas film yang akan dihasilkan. Tapi mari kesampingkan dahulu soal keapkiran para sutradara ini dan mencoba untuk menilai satu per satu segmen dari Rectoverso, dengan sudut pandang yang seobjektif mungkin sebagai seorang penonton. Walaupun, yah, tak perlulah kita kemudian memancang ekspektasi yang muluk-muluk dulu kepada para sutradara pemula ini.

Here we go.


Malaikat juga Tahu
- Sutradara: Marcella Zalianty
- Penulis naskah: Ve Handojo


Segmen pembuka, sekaligus penutup dari rangkaian omnibus ini tak bisa dipungkiri merupakan main course dari Rectoverso. Berkisah tentang Abang (Lukman Sardi), seorang penderita autis yang tinggal bersama Bunda (Dewi Irawan), di sebuah rumah besar yang juga menyewakan beberapa kamarnya untuk tempat kost. Kedekatan Abang dengan Leia (Prisia Nasution), salah satu penghuni kost di sana, lama kelamaan mulai menumbuhkan benih cinta di hatinya. Hanya kepada Leia lah, Abang bisa berkomunikasi dan berbagi, selain dengan Bundanya. Konflik mulai muncul ketika Hans (Marcel Domits), adik abang, kembali tinggal di rumah itu. Hans yang mulai menjalin hubungan dengan Leia, membuat Bunda khawatir perasaan Abang akan hancur jika mengetahui hal tersebut. Dan seperti yang sudah kita ketahui bersama, Malaikat juga Tahu pun berakhir dengan getir bagi Abang.

Segmen ini boleh dibilang adalah yang paling bersinar di antara segmen-segmen lainnya. Marcella Zalianty paham betul bagaimana mengejawantahkan kisah di bukunya, yang memang sudah memiliki melankolia kental di dalamnya, untuk membikin penonton sesenggukan menahan haru kala menyaksikan klimaksnya. Terima kasih kepada akting brilian Lukman Sardi yang benar-benar brengsek kala memerankan Abang. Saya tak akan pernah lupa dengan scene menggesek biola di bagian penutup yang benar-benar membikin mata berkaca-kaca itu. Menyedihkan, sejak dalam pikiran.

Firasat
- Sutradara: Rachel Maryam
- Penulis naskah: Indra Herlambang


Senja (Asmirandah) adalah seorang gadis yang sering mendapatkan firasat tentang kematian orang-orang disekitarnya. Hal ini disadarinya semenjak kematian ayah dan adiknya, yang didahului dengan datangnya firasat kepada dirinya lewat mimpi. Atas dasar tersebut, Senja kemudian bergabung dengan klub firasat yang diketuai oleh Panca (Dwi Sasono). Dalam kegiatannya, klub firasat ini sering mengadakan sesi sharing untuk berbagi pengalaman mengenai firasat-firasat yang didapatkan anggotanya. Setahun hampir berlalu, tapi Senja menjadi satu-satunya anggota yang belum pernah membagi firasatnya. Bukan karena tidak punya, melainkan Senja takut kalau firasat yang didapatnya belakangan ini, yang berisi tentang kematian Panca —orang yang diam-diam dicintainya, akan benar-benar kejadian. Tapi Tuhan rupanya berkehendak lain.

Segmen ini adalah yang paling buruk sekaligus yang paling membosankan dalam Rectoverso. Rachel Maryam selaku sutradara benar-benar gagal mengemas kisah di bukunya, yang padahal memiliki banyak elemen menarik untuk dieksplor, serta twist yang mengejutkan pada bagian ending-nya. Firasat benar-benar mengalun datar, penuh ceruk kekosongan, dan justru membuat saya mengernyitkan dahi kala menyimak klimaksnya. Hal ini semakin ditunjang dengan penampilan biasa-biasa saja oleh para pelakonnya, kecuali Widyawati yang tetap tampil pada standarnya.

Kalaupun ada yang sedkit menarik dari segmen ini, itu adalah dialog-dialog yang penuh filosofi tentang hidup, hasil dari kerja keras Indra Herlambang sebagai script writer.


Curhat buat Sahabat
- Sutradara: Olga Lidya
- Penulis naskah: Ilya Sigma dan Priesnanda Dwi Sagita


Mengisahkan tentang tema sederhana yang boleh dibilang cukup klise, Curhat buat Sahabat justru mampu menampilkan hidangan menarik berkat penampilan lugas dari para pelakonnya. Bercerita tentang Amanda (Acha Septriasa) yang baru saja putus dengan kekasihnya, sedang mencoba untuk memulai lembaran baru kehidupannya dengan membagi keluh kesah kepada Reggy (Indra Birowo), sahabat baiknya. Lewat sebuah sesi curhat yang cukup panjang, dengan diselingi beberapa nostalgia, mengilik-ilik kenangan tentang mantan-mantan Amanda yang lain, pada akhirnya segmen ini bermuara pada sebuah klimaks yang memang sudah predictable sejak awal: sekedar friendzone belaka.

Tidak ada yang lebih mencuri perhatian dari segmen ini selain performa menawan Acha Septriasa. Jelas terlihat sekali betapa nyamannya Acha menjadi seorang Amanda. Binar-binar matanya, isak tangisnya, pekik tawanya, sampai dengan kembang kempis hidungnya, semuanya tampak begitu ringan, lugas, dan natural —walau ada beberapa bagian yang memang tampak berlebihan. Harus diakui, kemampuan akting Acha memang berkembang pesat belakangan ini. Piala Citra yang digondolnya tahun lalu, barangkali memang sudah berada pada orang yang tepat, dan tak perlu digugat lagi keberadaannya.

Lain daripada itu, segmen ini makin terasa menarik dan enjoyable, karena banyak terselip scene-scene jenaka yang cukup menyegarkan —di tengah derasnya kesenduan yang coba ditebar oleh segmen-segmen lain. Olga Lidya did a decent job here. Well done.


Cicak di Dinding
- Sutradara: Cathy Sharon
- Penulis naskah: Ve Handojo


Memiliki judul yang serupa dengan lagu anak-anak, Cicak di Dinding justru menampilkan kisah dewasa yang vulgar dan membara. Adalah Taja (Yama Carlos), seorang seniman introvert yang tanpa sengaja bertemu dengan Saras (Sophia Latjuba), di sebuah klub malam. Hubungan yang pada awalnya hanya sekedar one night stand itu ternyata cukup membekas bagi Taja, dan menimbulkan benih-benih cinta di hatinya. Apalagi setelah pertemuannya kembali dengan Saras di sebuah coffee shop. Tapi siapa yang sangka jika ternyata Saras sudah mempunyai calon suami, yang tak lain adalah kerabat Taja. Maka dengan sebuah karya seni yang adiluhung indahnya, Taja mengutarakan perasannya yang tak pernah terucapkan kepada Saras, sekaligus menjadikannya sebagai kado, yang sedikit berbau guilty pleasure, untuk pernikahannya.

Segmen ini adalah yang punchline-nya paling mematikan di antara lima segmen dalam Rectoverso. Bukan dalam hal menguras air mata tentu saja, melainkan lebih kepada bagaimana cinta platonis itu seharusnya berujung: dengan tegar, dengan merelakan, dalam kepasrahan yang penuh seluruh. Dan Taja mengajari kita dengan baik, bagaimana melakukan hal tersebut dengan cara yang paling elegan. Kembalinya Sophia Latjuba dari masa hiatus-nya juga merupakan salah satu daya tarik dalam segmen ini. And yeah, She's still hot after all. Damn!


Hanya Isyarat
- Sutradara: Happy Salma
- Penulis naskah: Key Mangunsong


Terakhir adalah Hanya Isyarat, yang mengisahkan lima orang traveler, yang baru kali ini bertemu dalam sebuah perjalanan, setelah sebelumnya hanya saling mengenal melaui milis. Al (Amanda Soekasah), satu-satunya traveler wanita dalam kelompok itu, diam-diam telah lama memendam perasaan terhadap Raga (Hamish Daud), setelah membaca tulisan-tulisannya di milis. Sekian lama hanya bisa membayangkan sosok Raga, yang dianalogikannya dengan "hanya mampu memandangi punggungnya saja, dari kejauhan", pada akhinya Al bisa bertemu mata langsung dengan laki-laki yang dikaguminya itu. Mereka pun berkacap-cakap, saling berbagi tentang kisah sedih mereka selama ber-traveling, bersama tiga orang traveler lainnya.

Hanya Isyarat adalah segmen yang paling dipenuhi metafora, analogi, dan kalimat-kalimat puitik di antara segmen-segmen Rectoverso lainnya. Bagi beberapa orang, segmen ini mungkin terkesan bertele-tele, berbuih-buih, bahkan sedikit membosankan. Tapi bagi yang menggemari film-film dengan elemen-elemen seperti ini, Hanya Isyarat tentu menyajikan sebuah hal yang sayang untuk dilewatkan, utamanya pada bagian bertukar kisah di antara para traveler.

Kesimpulan
Rectoverso barangkali bukan sebuah omnibus yang tergolong istimewa dan jauh dari kata sempurna. Penggunaan metode interwoven yang dipakainya juga bukan tergolong hal yang baru-baru amat dalam skena perfilman nasional. Penampilan segmen-segmen di dalamnya juga tidak bisa dibilang bagus secara menyeluruh. Ada yang tampil dengan menawan, ada yang tampil biasa-biasa saja, ada juga yang terlalu membosankan. Kalaupun jalan cerita kisah-kisah di dalamnya memang menarik, tentu itu berkat tangan dingin Dewi Lestari dalam membikin pelbagai kisah-kisah cinta tak terucap, sehingga menjadi fondasi yang cukup kokoh untuk dieksekusi ke dalam layar lebar.

Tapi tentu tidak ada yang salah dengan mengatakan kalau Rectoverso adalah film yang cukup baik. Di sepanjang 110 menit durasinya, kita telah diajak untuk berkelana ke dalam pelbagai macam kisah-kisah cinta tak terucap, yang begitu mengaduk-ngaduk perasaan, serta —secara overall— cukup enjoyable untuk dinikmati. Pujian layak disematkan untuk duo editor, Cesa David Luckmansyah serta Ryan Purwoko, yang berhasil menyusun fragmen-fragmen heterogen dalam Rectoverso sehingga menjadi satu kesatuan parade kisah cinta platonis yang utuh, solid, serta sentimentil pada saat yang tepat.

Saya memberi nilai 7 untuk Rectoverso, sebagai film omnibus yang cukup berhasil dalam mengejawantahkan kisah-kisah dalam bukunya ke dalam layar lebar. Tidak terlalu istimewa memang, tapi jelas sebuah kesalahan jika mengatakan Rectoverso adalah sebuah film yang buruk. Apalagi jika mengingat minimnya jam terbang milik para sutradara yang membesutnya, Rectoverso cukup berhasil memenuhi ekspektasi saya.

Demikianlah.

Kamis, 07 Februari 2013

Seperti Seharusnya : Air Bah yang Ditunggu-tunggu dari Noah


Beberapa waktu yang lalu saya pernah menuliskan, bahwa menikmati musik pop arus utama tanpa menghiraukan keberadaan Peterpan (sekarang Noah) dalam memetakan pergolakan yang telah, sedang, dan yang akan kejadian di dalamnya adalah sebuah kesalahan yang teramat besar. Barangkali saya kelampau berlebihan kala menuliskan hal tersebut, tapi barangkali juga tidak. Sebab kenyataannya, Ariel dan kawan-kawan memang, entah mengapa, selalu saja memperoleh jalan yang mulus untuk memeriahkan belantika musik pop Indonesia, lewat manuver-manuver yang mereka lakukan.

Bahkan meski sang frontman sempat tersandung skandal video mesum dan harus mendekam di balik bui selama dua tahun. Bahkan meski harus membuang nama Peterpan yang telah memberi mereka kebesaran dan ketenaran bertahun-tahun lamanya. Magis milik Ariel dan kawan-kawan, memang tak pernah luntur barang satu zarah sekalipun. Salah-salah, malah semakin mengkilap di mata fans-nya.

Segala muslihat yang dilakukan, antara lain lewat ekspos berlebihan awak infotainment jelang kebebasan sang vokalis, keluarnya buku biografi pertanda tandasnya nama lama Peterpan, serta gebrakan konser di 5 negara - 2 benua dalam rentang hanya 24 jam, adalah upaya glorifikasi yang benar-benar membuat kita tanpa sadar beriman dan dengan sangat khusyuk ikut menunggu-nunggu kembalinya band yang telah lama menghilang ini.

Maka rilisnya album Seperti Seharusnya, hanyalah satu dari sekian banyak pembuktian empiris tentang bagaimana kuatnya tancapan kuku Ariel dan kawan-kawan dalam ranah musik pop lokal, walau kini harus mengusung panji-panji baru, lewat kibaran bendera Noah. Dan album yang berisikan sepuluh trek ini memang adalah sebuah produk dengan kualitas yang sudah sewajarnya dihadirkan oleh Noah, sebagai ganti atas lamanya masa penantian akan kembalinya mereka yang penuh dengan drama.

Dibuka dengan nomor Raja Negriku, lagu ini menyajikan preambule yang rupawan untuk sebuah album yang masuk dalam kategori most anticipated. Masuknya David di pos kibor, nampaknya benar-benar dimaksimalkan Noah dengan suntikan elemen ambience dari kibornya. Kehadiran David adalah angin segar bagi Noah yang berkat isian-isian nada dari kibornya, akan membuat kita terlena kala menyimak lagu bernafaskan nasionalisme ini. Selipan-selipan pidato Bung Karno di dalamnya juga memberikan kegagahan tersendiri yang tak pernah kita temui dalam lagu-lagu Peterpan.

Nomor powerful lain bisa didapat kala menyimak Hidup Untukmu Mati Tanpamu yang dipasang di trek keempat. Saya ingat seorang sahabat pernah menyebut kalau puncak keseksian suara Ariel adalah kala dia melenguh panjang dalam senandung sengaunya yang berat. Dan mendengarkan lagu ini dengan khidmat, membuktikan kebenaran akan hal tersebut. Lenguhan sengau maha berat dari Ariel yang bertebaran di sepanjang 5:25 menit durasinya, ditambah dengan isian-isian overdrive gitar dan pukulan drum yang solid, membuat suara Ariel yang konon seksi berat itu, benar-benar melumerkan para gadis-gadis sampai tak ada lagi yang bersisa.

Trek nomor dua, Jika Engkau, adalah saat bernostalgia bagi para fans Peterpan. Aransemen yang tidak berlebihan namun mengena, serta kombinasi lirik puitis patah-patah dan vokal sengau milik Ariel, adalah formula khas milik Peterpan yang berulang kali mengganjar mereka dengan kesuksesan. Pun begitu dengan nomor Demi Kita yang membuat saya merasakan kembali atmosfer album Bintang Di Surga (2004). Selain dua nomor tadi, Ini Cinta dan Puisi Adinda juga tak boleh dilewatkan bagi anda yang masih mencari sisa-sisa kedigdayaan Peterpan dalam diri Noah.

Bagi yang menggemari nomor sendu dan pilu, Noah memberikan Tak Lagi Sama dan Terbangun Sendiri untuk dinikmati dalam kemuram-durjanaan. Terkhusus untuk Terbangun Sendiri, saya merasakan adanya perasaan sentimentil yang diselipkan Ariel kala menulis lagu ini. Barangkali saja, lagu ini memang sengaja diciptakan Ariel untuk seseorang (atau orang-orang) yang pernah berada di sampingnya kala ia terjaga dari tidur. Tapi sekali lagi, ini hanya barangkali.

Satu fenomena yang menarik adalah belakangan ini, disadari atau tidak, Musica Studio kerap "menugaskan" band-band yang bernaung di bawah mereka untuk menyelipkan sebuah lagu daur ulang milik Alm. Chrisye dalam albumnya. Misalnya saja Peterpan dengan suksesnya Kisah Cintaku, maupun D'masiv lewat lagu Pergilah Kasih. Noah pun tak ketinggalan dengan tradisi ini. Di trek ketujuh, kita bakal menemukan nomor Sendiri Lagi ciptaan Ryan Kyoto, yang pernah dipopulerkan Alm. Chrisye pada masanya. Meski tak sebernas kala mendaur ulang Kisah Cintaku, Ariel dan kawan-kawan tetap berhasil memoles lagu ini jadi salah satu trek yang manis dan tak mengecewakan.

Terakhir, nomor Separuh Aku, yang telah menjadi endemik di telinga masyarakat jauh sebelum albumnya resmi dirilis, sepertinya tak perlu diganggu gugat keberadaannya. Trek yang juga didaulat sebagai single pertama dari album ini adalah permutasi dari nama Noah itu sendiri. Aransemennya bak air bah yang tenang dan menghanyutkan, namun berbalut lirik yang dalam dan menenggelamkan. Lagu ini berhasil menjadi jembatan penghubung yang mengantara ditengah-tengah Peterpan dan Noah.

Secara keseluruhan album ini tak bisa dibilang mengecewakan untuk sebuah penantian yang teramat panjang. Di dalamnya berisi kesegaran baru yang coba dibawa Noah, lewat improvisasi materi-materinya, namun tetap menyisakan diorama kejayaan serta kenangan-kenangan dari Peterpan lewat lirik-liriknya yang puitis dan membius untuk dinikmati fans-fans lama. Album ini cukup menyegarkan dahaga belantika musik Indonesia akan lagu-lagu pop yang berkualitas di tengah derasnya gelontoran tren boyband dan girlband.

Jika ada yang sedikit mengganggu dari album ini, barangkali itu adalah kenyataan bahwa untuk mendapatkannya, kita tidak lagi harus berangkat menuju ke toko kaset atau CD terdekat, tetapi malah memesan barang satu atau dua porsi ayam goreng cepat saji milik kakek-kakek tua asal Kentucky yang hobi mrenges itu.

Ah, zaman memang sudah berubah.





Album : Seperti Seharusnya

Artist : Noah

Label : Musica Studio

Produser : Noey & Capung

Produksi : 2012



Minggu, 13 Januari 2013

Cinta Tapi Beda : Melodrama Tentang Keyakinan

 

Garis Besar
Sesuai dengan judulnya, Cinta tapi Beda mengisahkan tentang romantisme dua anak manusia yang terhalang oleh perbedaan. Dan dalam kisah ini, perbedaan yang jadi batu sandungan bersatunya dua lakon utama kita adalah menyoal perbedaan kepercayaan dan agama yang dianut. Adalah Cahyo (Reza Nangin), seorang koki muda bertalenta yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga muslim yang taat, coba merintas perbedaan tadi dengan menjalin hubungan dengan Diana (Agni Pratistha), gadis padang yang tumbuh besar dalam keluarga Katolik.

Awalnya, perbedaan keyakinan di antara mereka berdua adalah bumbu penyedap yang mempermanis romansa keduanya. Hingga pada suatu ketika, Cahyo memperkenalkan Diana kepada keluarganya yang tinggal di Yogyakarta. Keluarga Cahyo, yang notabene memegang teguh ajaran keislaman dengan kuat, jelas kecewa mendapati kenyataan kalau anak laki-laki mereka justru memilih calon mantu dari kalangan yang berlainan keyakinan. Hubungan Cahyo dan Diana, kontan ditentang habis-habisan oleh Fadholi (Suharyoso), ayah Cahyo.


Setali tiga uang dengan Ibu Diana (Jajang C Noer), kala mengetahui kalau anaknya tengah menjalin hubungan dengan pria muslim. Dirinya juga tak mengizinkan Diana menikah dengan Cahyo. Apalagi, Ibu Diana juga memiliki trauma tersendiri dimana kakak-kakak Diana, yang juga menjalin hubungan dengan pasangan mereka yang berlainan keyakinan, pada akhirnya meninggalkan dirinya seorang diri dalam kesedihan. Ketakutan akan ditinggal Diana itulah yang kemudian membikin Ibu Diana membawa pulang Diana ke Padang, untuk dijodohkan dengan Oka (Choky Sitohang), yang merupakan kerabat satu gereja.

Maka diantara derasnya pelbagai prohibisi yang membatasi itulah, filantropi antara Cahyo dan Diana coba diperjuangkan.



Tema Sensitif yang Mengalun Dengan Klise
Harus diakui, kisah asmara beda agama adalah sebuah tema yang relatif sensitif di negara ini. Ini tentu jelas berkaitan dengan adanya salah satu hukum di negara ini yang tak memperbolehkan hal itu kejadian. Meskipun demikian, Cinta tapi Beda bukanlah film pertama yang menyinggung-nyinggung ranah ini. Sebelumnya, pernah ada film-film lain semisal Cin(t)a ataupun 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta, yang mengangkat tema percintaan beda agama. Tapi jika dibandingkan dengan dua judul tadi, Cinta tapi Beda masih kalah mengesankan.

Awalnya, Cinta tapi Beda memulai kisah dengan cukup meyakinkan. Perkenalan karakter-karakternya serta bibit-bibit konflik yang coba dibangun dalam ceritanya cukup berhasil untuk dinikmati dengan nyaman. Akting-akting para pelakonnya juga tak bisa dibilang buruk, terutama Reza Nangin. Tapi memasuki separuh jalan cerita, dengan konflik-konflik yang mulai mengujung, jalan ceritanya berubah klise dan mudah ditebak. Dari situ, kita sudah tau kemana kisah Cahyo dan Diana akan bermuara. Apalagi terlihat sekali kalau penceritaan di Cinta tapi Beda ini terkesan cari aman. Makanya tema sensitif yang coba diangkat malah mengalun dengan klise, minim kejutan, dan kurang menarik.


Dari segi jajaran akting, Cinta tapi Beda juga tidak memberikan sesuatu yang istimewa. Okelah Agni Pratistha dan Reza Nangin sempat membangun chemistry yang cukup paten di separuh awal filmnya, tapi setelahnya mereka seolah hilang ikatan dan gagal mempertahankan kualitas akting mereka. Hal ini barangkali sedikit dipengaruhi oleh script dan jalan cerita di separuh akhir filmnya yang memang tak begitu istimewa kalau tak boleh dibilang jelek. Kalaupun ada yang cukup mencuri perhatian dari sektor pelakon, dia adalah Jajang C.Noer yang tampil begitu rancak kala memerankan seorang ibu yang menentang pernikahan anaknya. Sebuah poin plus yang menyegarkan diantara serentengan kekurangan yang begitu jelas terhampar di sepanjang 96 menit durasinya.

Kesimpulan
Di-direct dua sutradara sekaligus (Hanung Bramantyo dan Hestu Saputra) ternyata tak lantas membuat Cinta tapi Beda — yang konon terinspirasi dari sebuah tulisan di blog — jadi sebuah produk yang prima. Kisah percintaan dua manusia beda keyakinan ini justru berubah jadi membosankan, khusunya menjelang paripurna. Bukan sebuah film yang buruk memang, tapi meskipun demikian, saya rasa nilai 5,5 adalah nilai paling tepat buat Cinta tapi Beda. Masuk dalam kategori film medioker saja, karena memang tidak ada yang istimewa dari film ini.

Satu yang mungkin agak mencuri perhatian dari film ini barangkali adalah soundtrack "Perbedaan" yang dinyanyinkan oleh Hendra Abeth. Cukup menyayat untuk dijadikan teman bermenung di kala hujan yang sendu.

Demikianlah.

Minggu, 06 Januari 2013

5 cm : Sepotong Fragmen Dari Puncak Semeru




Garis Besar
Diangkat dari novel best seller karangan Donny Dhirgantoro, ini awalnya adalah kisah persahabatan lima anak manusia yang kelampau klise. Adalah Genta (Fedi Nuril), Arial (Denny Sumargo), Zafran (Herjunot Ali), Riani (Raline Shah), dan Ian (Igor Saykoji), lima sekawan yang sudah menjalin persahabatan selama 10 tahun lamanya, tanpa pernah sekalipun melewatkan akhir pekan tanpa kongkow-kongkow bersama. Tak ingin persahabatan mereka jadi stagnan dan membosankan seperti sinetron di televisi, Genta memberikan tantangan kepada empat kawannya untuk tak saling bertemu dan berkomunikasi selama tiga bulan. Dalam tiga bulan itu, mereka dipersilahkan mencari kehidupan lain, yang selama ini tak bisa mereka tuntaskan karena terus-menerus ditepikan oleh lingkaran persahabatan mereka. Tantangan yang kemudian disepakati, meski dengan agak berat hati.

Tiga bulan berlalu, dan tanggal yang ditunggu-tunggu pun tinggal dijelang. Genta mengirimkan pesan singkat, meminta keempat sahabatnya mempersiapkan perlengkapan yang diperlukan, untuk kemudian berkumpul di Stasiun Senen pada tanggal 14 Agustus. Bagi yang sudah membaca novelnya, tentu anda sudah tahu kemana perjalanan lima sahabat ini akan menuju. Tapi bagi yang belum membaca novelnya pun, bukan berarti akan serta merta terkejut dengan destinasi yang dicanangkan Genta untuk perjalanan yang menjadi pertanda reuni mereka ini. Yah, meskipun alur dalam filmnya tak memberikan petunjuk sedikit pun tentang hal tersebut, segala bentuk promo dari tim produksi memang telah dengan gamblang menjelaskan kemana lima sahabat ini, plus tambahan Dinda (Pevita Pearce), akan melangkah: ke Gunung Semeru, ke puncak tertinggi di Pulau Jawa.

Lalu pada akhirnya, petualangan kelima sahabat ini dalam mendaki Semeru akan membawa mereka ke dalam level persahabatan yang kian erat, serta sedikit konflik romansa yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.


No surprise, but still good, though
Harus diakui, yang membikin novel 5 cm bisa demikian laris di pasaran adalah berkat kisahnya yang unik serta kerap hadirnya elemen kejutan di setiap bab-nya. Maka bagi anda yang sudah menamatkan novelnya kemudian pergi menonton filmnya, anda tidak akan mendapatkan lagi momen-momen kaget ketika menemui twist dalam ceritanya. Kecuali, ingatan anda tengah berkhianat dan membikin anda lupa detail-detail cerita yang pernah anda baca.

Keberangkatan lima sahabat ini ke Semeru yang diberitahukan Genta secara sporadis, sebagaimana yang saya sebutkan di atas, hanyalah salah satu contohnya. Pun begitu, dengan ending ceritanya, yang memang mengejutkan dan tak diduga. Tanpa hadirnya elemen keterkejutan tadi, kisah 5 cm akan terasa cukup datar dan seolah-olah hanya berupa dokumenter pendakian ke Semeru belaka, dengan selipan visualisasi berupa kisah di bukunya, yang sudah kita ketahui kemana muaranya. Tapi sekali lagi, ini hanya berlaku bagi mereka yang telah membaca novelnya, serta masih mengingat detail demi detail kisah di bukunya.

Dan tentu saja, ingatan kadang-kadang juga bisa berkhianat, kok.


Terbantu Semeru
Harus diakui, 5 cm perlu banyak-banyak berterimakasih kepada keidahan alam Semeru. Segala lansekap-lansekap maha indah yang tergelar di sana berhasil diekspos secara gemilang oleh Yudi Datau selaku Director of Photography. Hasilnya jelas terlihat dalam sinematografi 5 cm yang benar-benar breath-taking dan memanjakan mata penontonnya di sepanjang perjalanan filmnya menuju puncak Mahameru. Satu yang paling membekas di ingatan tentu saja adalah ketika Genta dengan pongah menunjukkan keberadaan "segara di atas langit" kepada lima orang temannya, kala mereka sedang berada pada postulat yang lebih tinggi daripada awan-awan di langit Semeru. It was amazing, like whoaaa...

Maka jangan salahkan 5 cm jika di kemudian hari, akan semakin banyak orang-orang yang mengagendakan pendakian ke Semeru demi bisa menikmati secara langsung, keindahan lansekap Semeru dalam momen yang paling intim lagi khidmat. Menonton film ini memang akan secara spontan memberi efek guilty pleasure kepada para penontonnya yang belum pernah melakukan pendakian, terutama yang belum pernah mendaki ke Semeru.



Nasionalisme Instan yang nir-makna
Kalau ada yang sedikit mengganggu di 5 cm, barangkali itu adalah gemuruh mendadak nasionalisme yang terkesan tiba-tiba mendera enam orang pelakonnya kala menjejak puncak Mahameru. Okelah, barangkali dengan naik ke puncak tertinggi pulau Jawa yang adiluhung indahnya itu, dapat merubah paradigma beberapa orang mengenai negara yang kerap kita cela ini. Hanya saja apa yang dilakukan Rizal Mantovani dalam klimaks di 5 cm benar-benar aneh. Sebab, sejak awal film ini dimulai, nyaris tidak ada gejala-gejala yang menunjukkan kalau keenam pendaki kita ini adalah orang-orang yang tak nasionalis.

Memang sih, di dalam salah satu scene-nya, sempat ada satu adegan yang menceritakan bagaimana Ian sangat mendambakan melanjutkan studinya di Manchester, demi menyalurkan hasratnya sebagai fan dari klub Manchester United. Tapi toh hal tersebut sama sekali tidak bisa dijadikan penggambaran dari lunturnya nasionalisme seseorang. Makanya, orasi-orasi sok nasionalis yang dilakukan satu per satu aktornya ketika tiba di puncak Mahameru, adalah adegan yang seharusnya tidak pernah ada di 5 cm. Atau setidaknya, bisa dikemas dalam adegan yang lebih baik.



Kesimpulan
Dibalik beberapa poin minusnya, 5 cm sama sekali tidak layak untuk dicap sebagai film yang buruk. Sinematografinya yang bernas, tata musikalnya yang apik, serta humor segar yang diselipkan di sela-sela cerita — terima kasih kepada duet kocak Zafran & Ian dengan akting komikal mereka — adalah hal-hal yang membuat 5 cm menjadi popcorn movie yang teramat sayang untuk dilewatkan. Saya dengan legowo memberi nilai 7,5 untuk film ini. Masuk ke dalam kategori prominen. Bagus dan menghibur, meski tidak bisa dibilang istimewa.

Demikianlah.