Selasa, 01 November 2011

Sang Penari : Melenggok Demi Rasus


Garis Besar
Sudah jadi rahasia umum, kalau film yang diangkat dari sebuah novel pasti tidak akan sama seperti versi novelnya. Akan terjadi distorsi di sana-sini serta beberapa alur yang dihilangkan. Begitu pula dengan film Sang Penari ini. Dan untuk yang ber-ekspektasi film ini akan mirip-mirip dengan versi novelnya mungkin akan sedikit kecewa, saya termasuk di golongan ini. Distorsi yang dibuat  Ifa Ifansyah selaku sutradara di film ini cukup banyak juga dan beberapa penghilangan alur yang dilakukannya kadang-kadang malah membuat cerita agak lost.

Film ini dibuka dengan scene dimana Rasus (Oka Antara), yang sudah jadi tentara, pulang ke Dukuh Paruk untuk menjenguk neneknya yang sedang meregang nyawa dalam usia senjanya. Rasus kemudian di tengah perjalanan bertemu dengan Kang Sakum, penabuh kendang (kalau di bukunya, Sakum adalah penabuh calung) dari rombongan ronggeng dukuh paruk. Kemudian terjadi flashback tentang masa silam Dukuh Paruk; tentang malapetaka racun tempe bongkrek, tentang hubungan Rasus dengan Srintil (Prisia Nasution), tentang bagaimana Srintil akhirnya ditahbiskan sebagai ronggeng, tentang malam buka klambu, dan juga kepergian Rasus.

Semua itu diceritakan dalam alur yang cepat dan melompat-lompat, sehingga bagi pembaca novelnya, yang terbiasa dimanjakan alur santai dan runtut khas tulisan Ahmad Tohari, film ini akan terasa sangat skip. Mungkin akan lain halnya bagi penonton yang sebelumnya belum membaca versi bukunya. Beruntung film ini masih mempertahankan pisuhan (umpatan) khas dalam bukunya seperti misalnya "Asu Buntung" dan "Bajul Buntung", sungguh scene yang keren melihat orang-orang ramai mengumpat seperti itu di film ini.


Oka Antara yang juara
Harus diakui, akting Oka Antara di film ini benar-benar bagus. Sepuluh jempol saya berikan buat Oka yang berhasil memerankan Rasus, yang pada masa mudanya sangat culun dan berbadan bungkuk, untuk kemudian ber-evolusi menjadi Rasus yang gagah dan berbadan tegap, setelah masuk tentara. Selain itu Oka juga berhasil menjalani dialek ngapak Banyumasan, dengan sangat natural. Salah satu scene yang paling menyita perhatian saya adalah ketika Rasus memanjat pohon kelapa. Sangat nostalgik. Karena sudah lama sekali saya tak melihat adegan memanjat pohon kelapa. Bahkan di kehidupan nyata sekalipun. Dan Oka Antara, berhasil memanjat pohon kelapanya sendiri, tanpa stuntman. Keren. He could win an oscar, absolutely.


Srintil yang kurang menyentil
Lain soal dengan Prisia Nasution. Penunjukan Pia sebagai Srintil sebetulnya patut dipertanyakan. Pia, yang notabene biasa memerankan lakon sebagai cewek tomboy yang judes dan pandai bersilat, kini didaulat sebagai ronggeng, duta keperempuanan paling ilahi dengan pembawaan anggun serta kenes yang dianugerahi kemampuan nembang dan menari. Tantangan besar tentunya buat Pia, dan sebagai penonton, saya tak terlalu berharap muluk-muluk akan akting istimewa dari dirinya. Pia boleh dibilang tidak gagal memerankan Srintil meski aktingnya tak terlalu luar biasa. Pada scene meronggeng, terlihat gerakan menari Pia masih agak kaku dan kurang luwes. Pacak gulu-nya juga kurang anggun. Pia masih sedikit tertolong berkat gerakan seblak sampurnya yang elegan, serta eye-contact penuh aura mistis khas seorang ronggeng yang berhasil dia tampilkan. Satu hal lagi, bahwa kenyataan ketika Pia mulai nembang, suaranya memang tak begitu merdu sehingga kesan ronggeng jadi kurang tertangkap darinya. Tapi overall, Pia sudah berhasil menjadi Srintil, meski tak begitu impresif sebagai ronggeng.


Tak sepersis versi buku
Film ini boleh dibilang adalah pentasnya Rasus, bukan Srintil, seperti di versi bukunya. Sangat kelihatan bahwa alur yang hendak disorot adalah kehidupan Rasus, yang semula hanyalah pemuda antah berantah yang dilingkari kebodohan dan kemiskinan, yang menjelma menjadi tentara gagah berani, untuk kemudian membebaskan Srintil dari rumah tahanan pasca keterlibatan rombongan ronggeng dukuh paruk dengan geger kisruh komunisme tahun 1965. Srintil sendiri, hanya ditokohkan secara sekilas-sekilas dan lompat-lompat. Cukup sulit memang merangkum tiga buah novel ke dalam satu film berdurasi tak sampai 2 jam.

Pada akhir film, ditampilkan bagaimana Srintil kembali meronggeng, meski tidak full band, hanya didampingi Kang Sakum yang mengalun kendang, dari sudut ke sudut Pasar Dawuan layaknya seniman jalanan. Rasus kemudian menghampirinya, dan sekali lagi, memberikan keris kecil yang menjadi simbol keronggengan Dukuh Paruk kepada Srintil. Scene diakhiri dengan perjalanan Srintil dan Sakum pulang menyusuri jalan membentang di pematang sawah menuju Dukuh Paruk. Sebuah ending yang bertolak belakang dengan versi bukunya, karena pada versi bukunya, Srintil berakhir menjadi orang gila. Sementara di filmnya, Srintil digambarkan masih memiliki harapan panjang, sepanjang jalan pulang yang membentang di hadapannya.

Kesimpulan
Overall, film ini cukup bagus, terbukti dengan keberhasilannya menggondol gelar Film Terbaik di Festival Film Indonesia 2011 kemarin, plus memunculkan Ifa Ifansyah sebagai Sutradara Terbaik, Prisia Nasution sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik, dan Dewi Irawan (Nyai Kartareja) sebagai Pemeran Pendukung Wanita Terbaik. Saya sendiri sih akan memberi nilai 7,5 buat film ini. Masuk dalam kategori Prominen. Bagus, tapi tak terlalu istimewa.

Demikianlah.