Minggu, 10 Maret 2013

Rectoverso : Parade Kisah Cinta Platonis

Garis Besar
Mengambil judul yang sama dengan noveletnya, sebuah kumpulan cerpen karangan Dee, Rectoverso menghadirkan sebuah film omnibus yang memvisualisasikan lima buah kisah terpilih dari sebelas kisah yang tertulis dalam bukunya. Tidak seperti kebanyakan film omnibus yang memakai peralihan segmen one per one, Rectoverso memilih menggunakan metode interwoven dalam penuturan kisahnya. Bagi yang pernah menyaksikan Dilema (2012) tentu tak asing lagi dengan penggunaan interwoven, dimana segmen-segmen dalam filmnya ditampilkan secara berselang-seling, seperti layaknya pergantian sebuah scene pada umumnya, sebelum akhirnya bermuara pada ending masing-masing segmen, yang menampilkan klimaksnya secara bertururt-turut.

Selain memakai metode bertutur yang unik, Rectoverso juga dibesut oleh lima sutradara yang berbeda. Lebih menarik lagi karena kelima sutradara kita ini semuanya wanita, semuanya pernah besar dalam dunia akting, dan semuanya tergolong pemula dalam soal men-direct film. Untuk yang terakhir itu, barangkali bukan sesuatu yang menarik memang, bahkan malah membuat kita sedikit waswas terhadap kualitas film yang akan dihasilkan. Tapi mari kesampingkan dahulu soal keapkiran para sutradara ini dan mencoba untuk menilai satu per satu segmen dari Rectoverso, dengan sudut pandang yang seobjektif mungkin sebagai seorang penonton. Walaupun, yah, tak perlulah kita kemudian memancang ekspektasi yang muluk-muluk dulu kepada para sutradara pemula ini.

Here we go.


Malaikat juga Tahu
- Sutradara: Marcella Zalianty
- Penulis naskah: Ve Handojo


Segmen pembuka, sekaligus penutup dari rangkaian omnibus ini tak bisa dipungkiri merupakan main course dari Rectoverso. Berkisah tentang Abang (Lukman Sardi), seorang penderita autis yang tinggal bersama Bunda (Dewi Irawan), di sebuah rumah besar yang juga menyewakan beberapa kamarnya untuk tempat kost. Kedekatan Abang dengan Leia (Prisia Nasution), salah satu penghuni kost di sana, lama kelamaan mulai menumbuhkan benih cinta di hatinya. Hanya kepada Leia lah, Abang bisa berkomunikasi dan berbagi, selain dengan Bundanya. Konflik mulai muncul ketika Hans (Marcel Domits), adik abang, kembali tinggal di rumah itu. Hans yang mulai menjalin hubungan dengan Leia, membuat Bunda khawatir perasaan Abang akan hancur jika mengetahui hal tersebut. Dan seperti yang sudah kita ketahui bersama, Malaikat juga Tahu pun berakhir dengan getir bagi Abang.

Segmen ini boleh dibilang adalah yang paling bersinar di antara segmen-segmen lainnya. Marcella Zalianty paham betul bagaimana mengejawantahkan kisah di bukunya, yang memang sudah memiliki melankolia kental di dalamnya, untuk membikin penonton sesenggukan menahan haru kala menyaksikan klimaksnya. Terima kasih kepada akting brilian Lukman Sardi yang benar-benar brengsek kala memerankan Abang. Saya tak akan pernah lupa dengan scene menggesek biola di bagian penutup yang benar-benar membikin mata berkaca-kaca itu. Menyedihkan, sejak dalam pikiran.

Firasat
- Sutradara: Rachel Maryam
- Penulis naskah: Indra Herlambang


Senja (Asmirandah) adalah seorang gadis yang sering mendapatkan firasat tentang kematian orang-orang disekitarnya. Hal ini disadarinya semenjak kematian ayah dan adiknya, yang didahului dengan datangnya firasat kepada dirinya lewat mimpi. Atas dasar tersebut, Senja kemudian bergabung dengan klub firasat yang diketuai oleh Panca (Dwi Sasono). Dalam kegiatannya, klub firasat ini sering mengadakan sesi sharing untuk berbagi pengalaman mengenai firasat-firasat yang didapatkan anggotanya. Setahun hampir berlalu, tapi Senja menjadi satu-satunya anggota yang belum pernah membagi firasatnya. Bukan karena tidak punya, melainkan Senja takut kalau firasat yang didapatnya belakangan ini, yang berisi tentang kematian Panca —orang yang diam-diam dicintainya, akan benar-benar kejadian. Tapi Tuhan rupanya berkehendak lain.

Segmen ini adalah yang paling buruk sekaligus yang paling membosankan dalam Rectoverso. Rachel Maryam selaku sutradara benar-benar gagal mengemas kisah di bukunya, yang padahal memiliki banyak elemen menarik untuk dieksplor, serta twist yang mengejutkan pada bagian ending-nya. Firasat benar-benar mengalun datar, penuh ceruk kekosongan, dan justru membuat saya mengernyitkan dahi kala menyimak klimaksnya. Hal ini semakin ditunjang dengan penampilan biasa-biasa saja oleh para pelakonnya, kecuali Widyawati yang tetap tampil pada standarnya.

Kalaupun ada yang sedkit menarik dari segmen ini, itu adalah dialog-dialog yang penuh filosofi tentang hidup, hasil dari kerja keras Indra Herlambang sebagai script writer.


Curhat buat Sahabat
- Sutradara: Olga Lidya
- Penulis naskah: Ilya Sigma dan Priesnanda Dwi Sagita


Mengisahkan tentang tema sederhana yang boleh dibilang cukup klise, Curhat buat Sahabat justru mampu menampilkan hidangan menarik berkat penampilan lugas dari para pelakonnya. Bercerita tentang Amanda (Acha Septriasa) yang baru saja putus dengan kekasihnya, sedang mencoba untuk memulai lembaran baru kehidupannya dengan membagi keluh kesah kepada Reggy (Indra Birowo), sahabat baiknya. Lewat sebuah sesi curhat yang cukup panjang, dengan diselingi beberapa nostalgia, mengilik-ilik kenangan tentang mantan-mantan Amanda yang lain, pada akhirnya segmen ini bermuara pada sebuah klimaks yang memang sudah predictable sejak awal: sekedar friendzone belaka.

Tidak ada yang lebih mencuri perhatian dari segmen ini selain performa menawan Acha Septriasa. Jelas terlihat sekali betapa nyamannya Acha menjadi seorang Amanda. Binar-binar matanya, isak tangisnya, pekik tawanya, sampai dengan kembang kempis hidungnya, semuanya tampak begitu ringan, lugas, dan natural —walau ada beberapa bagian yang memang tampak berlebihan. Harus diakui, kemampuan akting Acha memang berkembang pesat belakangan ini. Piala Citra yang digondolnya tahun lalu, barangkali memang sudah berada pada orang yang tepat, dan tak perlu digugat lagi keberadaannya.

Lain daripada itu, segmen ini makin terasa menarik dan enjoyable, karena banyak terselip scene-scene jenaka yang cukup menyegarkan —di tengah derasnya kesenduan yang coba ditebar oleh segmen-segmen lain. Olga Lidya did a decent job here. Well done.


Cicak di Dinding
- Sutradara: Cathy Sharon
- Penulis naskah: Ve Handojo


Memiliki judul yang serupa dengan lagu anak-anak, Cicak di Dinding justru menampilkan kisah dewasa yang vulgar dan membara. Adalah Taja (Yama Carlos), seorang seniman introvert yang tanpa sengaja bertemu dengan Saras (Sophia Latjuba), di sebuah klub malam. Hubungan yang pada awalnya hanya sekedar one night stand itu ternyata cukup membekas bagi Taja, dan menimbulkan benih-benih cinta di hatinya. Apalagi setelah pertemuannya kembali dengan Saras di sebuah coffee shop. Tapi siapa yang sangka jika ternyata Saras sudah mempunyai calon suami, yang tak lain adalah kerabat Taja. Maka dengan sebuah karya seni yang adiluhung indahnya, Taja mengutarakan perasannya yang tak pernah terucapkan kepada Saras, sekaligus menjadikannya sebagai kado, yang sedikit berbau guilty pleasure, untuk pernikahannya.

Segmen ini adalah yang punchline-nya paling mematikan di antara lima segmen dalam Rectoverso. Bukan dalam hal menguras air mata tentu saja, melainkan lebih kepada bagaimana cinta platonis itu seharusnya berujung: dengan tegar, dengan merelakan, dalam kepasrahan yang penuh seluruh. Dan Taja mengajari kita dengan baik, bagaimana melakukan hal tersebut dengan cara yang paling elegan. Kembalinya Sophia Latjuba dari masa hiatus-nya juga merupakan salah satu daya tarik dalam segmen ini. And yeah, She's still hot after all. Damn!


Hanya Isyarat
- Sutradara: Happy Salma
- Penulis naskah: Key Mangunsong


Terakhir adalah Hanya Isyarat, yang mengisahkan lima orang traveler, yang baru kali ini bertemu dalam sebuah perjalanan, setelah sebelumnya hanya saling mengenal melaui milis. Al (Amanda Soekasah), satu-satunya traveler wanita dalam kelompok itu, diam-diam telah lama memendam perasaan terhadap Raga (Hamish Daud), setelah membaca tulisan-tulisannya di milis. Sekian lama hanya bisa membayangkan sosok Raga, yang dianalogikannya dengan "hanya mampu memandangi punggungnya saja, dari kejauhan", pada akhinya Al bisa bertemu mata langsung dengan laki-laki yang dikaguminya itu. Mereka pun berkacap-cakap, saling berbagi tentang kisah sedih mereka selama ber-traveling, bersama tiga orang traveler lainnya.

Hanya Isyarat adalah segmen yang paling dipenuhi metafora, analogi, dan kalimat-kalimat puitik di antara segmen-segmen Rectoverso lainnya. Bagi beberapa orang, segmen ini mungkin terkesan bertele-tele, berbuih-buih, bahkan sedikit membosankan. Tapi bagi yang menggemari film-film dengan elemen-elemen seperti ini, Hanya Isyarat tentu menyajikan sebuah hal yang sayang untuk dilewatkan, utamanya pada bagian bertukar kisah di antara para traveler.

Kesimpulan
Rectoverso barangkali bukan sebuah omnibus yang tergolong istimewa dan jauh dari kata sempurna. Penggunaan metode interwoven yang dipakainya juga bukan tergolong hal yang baru-baru amat dalam skena perfilman nasional. Penampilan segmen-segmen di dalamnya juga tidak bisa dibilang bagus secara menyeluruh. Ada yang tampil dengan menawan, ada yang tampil biasa-biasa saja, ada juga yang terlalu membosankan. Kalaupun jalan cerita kisah-kisah di dalamnya memang menarik, tentu itu berkat tangan dingin Dewi Lestari dalam membikin pelbagai kisah-kisah cinta tak terucap, sehingga menjadi fondasi yang cukup kokoh untuk dieksekusi ke dalam layar lebar.

Tapi tentu tidak ada yang salah dengan mengatakan kalau Rectoverso adalah film yang cukup baik. Di sepanjang 110 menit durasinya, kita telah diajak untuk berkelana ke dalam pelbagai macam kisah-kisah cinta tak terucap, yang begitu mengaduk-ngaduk perasaan, serta —secara overall— cukup enjoyable untuk dinikmati. Pujian layak disematkan untuk duo editor, Cesa David Luckmansyah serta Ryan Purwoko, yang berhasil menyusun fragmen-fragmen heterogen dalam Rectoverso sehingga menjadi satu kesatuan parade kisah cinta platonis yang utuh, solid, serta sentimentil pada saat yang tepat.

Saya memberi nilai 7 untuk Rectoverso, sebagai film omnibus yang cukup berhasil dalam mengejawantahkan kisah-kisah dalam bukunya ke dalam layar lebar. Tidak terlalu istimewa memang, tapi jelas sebuah kesalahan jika mengatakan Rectoverso adalah sebuah film yang buruk. Apalagi jika mengingat minimnya jam terbang milik para sutradara yang membesutnya, Rectoverso cukup berhasil memenuhi ekspektasi saya.

Demikianlah.