Minggu, 13 Januari 2013

Cinta Tapi Beda : Melodrama Tentang Keyakinan

 

Garis Besar
Sesuai dengan judulnya, Cinta tapi Beda mengisahkan tentang romantisme dua anak manusia yang terhalang oleh perbedaan. Dan dalam kisah ini, perbedaan yang jadi batu sandungan bersatunya dua lakon utama kita adalah menyoal perbedaan kepercayaan dan agama yang dianut. Adalah Cahyo (Reza Nangin), seorang koki muda bertalenta yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga muslim yang taat, coba merintas perbedaan tadi dengan menjalin hubungan dengan Diana (Agni Pratistha), gadis padang yang tumbuh besar dalam keluarga Katolik.

Awalnya, perbedaan keyakinan di antara mereka berdua adalah bumbu penyedap yang mempermanis romansa keduanya. Hingga pada suatu ketika, Cahyo memperkenalkan Diana kepada keluarganya yang tinggal di Yogyakarta. Keluarga Cahyo, yang notabene memegang teguh ajaran keislaman dengan kuat, jelas kecewa mendapati kenyataan kalau anak laki-laki mereka justru memilih calon mantu dari kalangan yang berlainan keyakinan. Hubungan Cahyo dan Diana, kontan ditentang habis-habisan oleh Fadholi (Suharyoso), ayah Cahyo.


Setali tiga uang dengan Ibu Diana (Jajang C Noer), kala mengetahui kalau anaknya tengah menjalin hubungan dengan pria muslim. Dirinya juga tak mengizinkan Diana menikah dengan Cahyo. Apalagi, Ibu Diana juga memiliki trauma tersendiri dimana kakak-kakak Diana, yang juga menjalin hubungan dengan pasangan mereka yang berlainan keyakinan, pada akhirnya meninggalkan dirinya seorang diri dalam kesedihan. Ketakutan akan ditinggal Diana itulah yang kemudian membikin Ibu Diana membawa pulang Diana ke Padang, untuk dijodohkan dengan Oka (Choky Sitohang), yang merupakan kerabat satu gereja.

Maka diantara derasnya pelbagai prohibisi yang membatasi itulah, filantropi antara Cahyo dan Diana coba diperjuangkan.



Tema Sensitif yang Mengalun Dengan Klise
Harus diakui, kisah asmara beda agama adalah sebuah tema yang relatif sensitif di negara ini. Ini tentu jelas berkaitan dengan adanya salah satu hukum di negara ini yang tak memperbolehkan hal itu kejadian. Meskipun demikian, Cinta tapi Beda bukanlah film pertama yang menyinggung-nyinggung ranah ini. Sebelumnya, pernah ada film-film lain semisal Cin(t)a ataupun 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta, yang mengangkat tema percintaan beda agama. Tapi jika dibandingkan dengan dua judul tadi, Cinta tapi Beda masih kalah mengesankan.

Awalnya, Cinta tapi Beda memulai kisah dengan cukup meyakinkan. Perkenalan karakter-karakternya serta bibit-bibit konflik yang coba dibangun dalam ceritanya cukup berhasil untuk dinikmati dengan nyaman. Akting-akting para pelakonnya juga tak bisa dibilang buruk, terutama Reza Nangin. Tapi memasuki separuh jalan cerita, dengan konflik-konflik yang mulai mengujung, jalan ceritanya berubah klise dan mudah ditebak. Dari situ, kita sudah tau kemana kisah Cahyo dan Diana akan bermuara. Apalagi terlihat sekali kalau penceritaan di Cinta tapi Beda ini terkesan cari aman. Makanya tema sensitif yang coba diangkat malah mengalun dengan klise, minim kejutan, dan kurang menarik.


Dari segi jajaran akting, Cinta tapi Beda juga tidak memberikan sesuatu yang istimewa. Okelah Agni Pratistha dan Reza Nangin sempat membangun chemistry yang cukup paten di separuh awal filmnya, tapi setelahnya mereka seolah hilang ikatan dan gagal mempertahankan kualitas akting mereka. Hal ini barangkali sedikit dipengaruhi oleh script dan jalan cerita di separuh akhir filmnya yang memang tak begitu istimewa kalau tak boleh dibilang jelek. Kalaupun ada yang cukup mencuri perhatian dari sektor pelakon, dia adalah Jajang C.Noer yang tampil begitu rancak kala memerankan seorang ibu yang menentang pernikahan anaknya. Sebuah poin plus yang menyegarkan diantara serentengan kekurangan yang begitu jelas terhampar di sepanjang 96 menit durasinya.

Kesimpulan
Di-direct dua sutradara sekaligus (Hanung Bramantyo dan Hestu Saputra) ternyata tak lantas membuat Cinta tapi Beda — yang konon terinspirasi dari sebuah tulisan di blog — jadi sebuah produk yang prima. Kisah percintaan dua manusia beda keyakinan ini justru berubah jadi membosankan, khusunya menjelang paripurna. Bukan sebuah film yang buruk memang, tapi meskipun demikian, saya rasa nilai 5,5 adalah nilai paling tepat buat Cinta tapi Beda. Masuk dalam kategori film medioker saja, karena memang tidak ada yang istimewa dari film ini.

Satu yang mungkin agak mencuri perhatian dari film ini barangkali adalah soundtrack "Perbedaan" yang dinyanyinkan oleh Hendra Abeth. Cukup menyayat untuk dijadikan teman bermenung di kala hujan yang sendu.

Demikianlah.

Minggu, 06 Januari 2013

5 cm : Sepotong Fragmen Dari Puncak Semeru




Garis Besar
Diangkat dari novel best seller karangan Donny Dhirgantoro, ini awalnya adalah kisah persahabatan lima anak manusia yang kelampau klise. Adalah Genta (Fedi Nuril), Arial (Denny Sumargo), Zafran (Herjunot Ali), Riani (Raline Shah), dan Ian (Igor Saykoji), lima sekawan yang sudah menjalin persahabatan selama 10 tahun lamanya, tanpa pernah sekalipun melewatkan akhir pekan tanpa kongkow-kongkow bersama. Tak ingin persahabatan mereka jadi stagnan dan membosankan seperti sinetron di televisi, Genta memberikan tantangan kepada empat kawannya untuk tak saling bertemu dan berkomunikasi selama tiga bulan. Dalam tiga bulan itu, mereka dipersilahkan mencari kehidupan lain, yang selama ini tak bisa mereka tuntaskan karena terus-menerus ditepikan oleh lingkaran persahabatan mereka. Tantangan yang kemudian disepakati, meski dengan agak berat hati.

Tiga bulan berlalu, dan tanggal yang ditunggu-tunggu pun tinggal dijelang. Genta mengirimkan pesan singkat, meminta keempat sahabatnya mempersiapkan perlengkapan yang diperlukan, untuk kemudian berkumpul di Stasiun Senen pada tanggal 14 Agustus. Bagi yang sudah membaca novelnya, tentu anda sudah tahu kemana perjalanan lima sahabat ini akan menuju. Tapi bagi yang belum membaca novelnya pun, bukan berarti akan serta merta terkejut dengan destinasi yang dicanangkan Genta untuk perjalanan yang menjadi pertanda reuni mereka ini. Yah, meskipun alur dalam filmnya tak memberikan petunjuk sedikit pun tentang hal tersebut, segala bentuk promo dari tim produksi memang telah dengan gamblang menjelaskan kemana lima sahabat ini, plus tambahan Dinda (Pevita Pearce), akan melangkah: ke Gunung Semeru, ke puncak tertinggi di Pulau Jawa.

Lalu pada akhirnya, petualangan kelima sahabat ini dalam mendaki Semeru akan membawa mereka ke dalam level persahabatan yang kian erat, serta sedikit konflik romansa yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.


No surprise, but still good, though
Harus diakui, yang membikin novel 5 cm bisa demikian laris di pasaran adalah berkat kisahnya yang unik serta kerap hadirnya elemen kejutan di setiap bab-nya. Maka bagi anda yang sudah menamatkan novelnya kemudian pergi menonton filmnya, anda tidak akan mendapatkan lagi momen-momen kaget ketika menemui twist dalam ceritanya. Kecuali, ingatan anda tengah berkhianat dan membikin anda lupa detail-detail cerita yang pernah anda baca.

Keberangkatan lima sahabat ini ke Semeru yang diberitahukan Genta secara sporadis, sebagaimana yang saya sebutkan di atas, hanyalah salah satu contohnya. Pun begitu, dengan ending ceritanya, yang memang mengejutkan dan tak diduga. Tanpa hadirnya elemen keterkejutan tadi, kisah 5 cm akan terasa cukup datar dan seolah-olah hanya berupa dokumenter pendakian ke Semeru belaka, dengan selipan visualisasi berupa kisah di bukunya, yang sudah kita ketahui kemana muaranya. Tapi sekali lagi, ini hanya berlaku bagi mereka yang telah membaca novelnya, serta masih mengingat detail demi detail kisah di bukunya.

Dan tentu saja, ingatan kadang-kadang juga bisa berkhianat, kok.


Terbantu Semeru
Harus diakui, 5 cm perlu banyak-banyak berterimakasih kepada keidahan alam Semeru. Segala lansekap-lansekap maha indah yang tergelar di sana berhasil diekspos secara gemilang oleh Yudi Datau selaku Director of Photography. Hasilnya jelas terlihat dalam sinematografi 5 cm yang benar-benar breath-taking dan memanjakan mata penontonnya di sepanjang perjalanan filmnya menuju puncak Mahameru. Satu yang paling membekas di ingatan tentu saja adalah ketika Genta dengan pongah menunjukkan keberadaan "segara di atas langit" kepada lima orang temannya, kala mereka sedang berada pada postulat yang lebih tinggi daripada awan-awan di langit Semeru. It was amazing, like whoaaa...

Maka jangan salahkan 5 cm jika di kemudian hari, akan semakin banyak orang-orang yang mengagendakan pendakian ke Semeru demi bisa menikmati secara langsung, keindahan lansekap Semeru dalam momen yang paling intim lagi khidmat. Menonton film ini memang akan secara spontan memberi efek guilty pleasure kepada para penontonnya yang belum pernah melakukan pendakian, terutama yang belum pernah mendaki ke Semeru.



Nasionalisme Instan yang nir-makna
Kalau ada yang sedikit mengganggu di 5 cm, barangkali itu adalah gemuruh mendadak nasionalisme yang terkesan tiba-tiba mendera enam orang pelakonnya kala menjejak puncak Mahameru. Okelah, barangkali dengan naik ke puncak tertinggi pulau Jawa yang adiluhung indahnya itu, dapat merubah paradigma beberapa orang mengenai negara yang kerap kita cela ini. Hanya saja apa yang dilakukan Rizal Mantovani dalam klimaks di 5 cm benar-benar aneh. Sebab, sejak awal film ini dimulai, nyaris tidak ada gejala-gejala yang menunjukkan kalau keenam pendaki kita ini adalah orang-orang yang tak nasionalis.

Memang sih, di dalam salah satu scene-nya, sempat ada satu adegan yang menceritakan bagaimana Ian sangat mendambakan melanjutkan studinya di Manchester, demi menyalurkan hasratnya sebagai fan dari klub Manchester United. Tapi toh hal tersebut sama sekali tidak bisa dijadikan penggambaran dari lunturnya nasionalisme seseorang. Makanya, orasi-orasi sok nasionalis yang dilakukan satu per satu aktornya ketika tiba di puncak Mahameru, adalah adegan yang seharusnya tidak pernah ada di 5 cm. Atau setidaknya, bisa dikemas dalam adegan yang lebih baik.



Kesimpulan
Dibalik beberapa poin minusnya, 5 cm sama sekali tidak layak untuk dicap sebagai film yang buruk. Sinematografinya yang bernas, tata musikalnya yang apik, serta humor segar yang diselipkan di sela-sela cerita — terima kasih kepada duet kocak Zafran & Ian dengan akting komikal mereka — adalah hal-hal yang membuat 5 cm menjadi popcorn movie yang teramat sayang untuk dilewatkan. Saya dengan legowo memberi nilai 7,5 untuk film ini. Masuk ke dalam kategori prominen. Bagus dan menghibur, meski tidak bisa dibilang istimewa.

Demikianlah.